Category Archives: Sorot

Protap Mengintervensi Kapolri

kapolri4

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. (Inilah.Com/Bayu Sutha)

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri agaknya kini menghadapi tekanan politis terkait penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat

Dia merasa bahwa institusinya kini tengah diintevensi dalam penanganan kasus unjukrasa anarkis yang turut mencoreng citra kepolisian itu, termasuk soal keputusan pihaknya mencopot Kapoltabes Medan dan Kapolda Sumut.

Dalam rapat dengar pendapat yang dilakukan di Komisi III DPR RI di gedung dewan di Senayan, Jakarta, Senin (9/2), Kapolri menghadapi berbagai kritikan pedas, termasuk soal pencopotan Kapolda Sumut Irjen Polisi Nanan Sukarna.

Pernyataan Kapolri yang akan mencopot Nanan Sukarna ternyata ditanggapi kontra oleh banyak kalangan dewan di Komisi III DPR RI. Umumnya, para anggota dewan berpendapat, kebijakan Kapolri mencopot Nanan, sebagai keputusan yang tidak arif dan cermat menyikapi persoalan.

Sebab, menurut para anggota dewan tersebut, pencopotan Nanan sebagai Kapoldasu, dinilai bukan persoalan substansial untuk menyelesaikan penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung Protap yang menewaskan Ketua DPRD Sumut.

Kapolri seharusnya menurut kalangan dewan, memberi kesempatan kepada Nanan untuk menuntaskan penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung Protap tersebut sampai ke akar-akarnya.

Di masyarakat Sumut sendiri, memang sejak dua hari pasca unjukrasa anarkis yang menyulut ‘kemarahan’ masyarakat itu, terlihat semacam gejala perubahan sikap. Sasaran ‘amarah’ yang bermuara tuntutan agar Nanan Sukarna selaku Kapolda Sumut dicopot, belakangan ini ada gejala melunak.

Bahkan, sejumlah tokoh maupun kelompok yang sebelumnya paling keras meminta Kapolri mencopot Nanan, berbalik 180 derajat meminta agar Kapolri mempertahankan Nanan sebagai Kapolda Sumut. Apakah ini sebuah fenomena adanya kearifan masyarakat di Sumut melihat akar persoalan di balik aksi anarkis massa pendukung Protap?

Entahlah. Namun faktanya, usia Nanan menjabat “Toba-1” (Kapolda Sumut-red) memang baru seumur jagung. Namun dalam kurun waktu tersebut, banyak perubahan fundamen yang dilakukannya di internal kepolisian yang dipimpinnya.

Pembenahan sampai upaya ‘bersih-bersih’ di internalnya, harus diakui masyarakat Sumut memang menunjukkan adanya perubahan besar dari sikap maupun mental prilaku aparat kepolisian dalam melayani masyarakat maupun menangani kasus-kasus pelanggaran hukum di daerah ini.

Perubahan signifikan yang cukup menonjol juga terlihat dari semakin membaiknya sikap dan mental prilaku aparat kepolisian lalu lintas yang kini mulai ‘takut’ menerima upeti dari masyarakat. Apalagi sejak Nanan membuka layanan kontak langsung yang bisa diakses masyarakat 24 jam.

Menurut banyak pihak, dalam kasus unjukrasa anarkis massa Protap kemarin, Kapoldasu menjadi ‘korban’ dari ketidakbecusan jajaran di bawahnya. Bahkan, lebih mengagetkan lagi, ada yang menduga unjukrasa anarkis di gedung dewan tersebut, merupakan bagian dari skenario oknum-oknum di internal kepolisian yang selama ini terganggu ‘lahannya’ sejak kehadiran Nanan.

Namun Kapolri sepertinya ‘keukeh’ untuk mencopot Nanan dari Kapolda Sumut. Belum jelas siapa penggantinya, namun kuat dugaan adalah salah seorang Direktur di Bareskrim Mabes Polri yang pernah menjadi Kapoltabes Medan. Sikap ‘keukeh’ Kapolri ini tentu patut dipuji dan didukung semua pihak. Kapolri memang tidak boleh kalah oleh intervensi siapapun. Kapolri harus berdiri di atas pijakan keyakinan dan professionalisme Polri.

Namun, apakah dengan bergantinya Kapolda Sumut kelak, akan membawa dampak perubahan lebih baik di internal Polda Sumut dan masyarakat Sumut? Tentu ini masih perlu dipertanyakan.

Paling tidak, Kapolda Sumut mendatang, harus melakukan berbagai perubahan dan pembenahan seperti yang dilakukan Nanan selama ini. Bukan malah membawa kemunduran seperti di masa lalu saat aparat kepolisian di daerah ini masih ‘bermental korup’.

Kalau itu yang terjadi, berarti tidak tertutup kemungkinan sinyalemen berbagai kalangan yang menyebutkan bahwa pencopotan Nanan ini merupakan bagian skenario oknum-oknum di internal Polda yang tidak senang dengan Nanan adalah benar adanya. (*)

“Democrazy” Protap

ketua-dipukuli

Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat (berpeci) memperlihatkan mimik terkena kepalan tinju tangan kiri bergelang dari seseorang massa pendukung Protap yang tidak terlihat pelakunya. Foto: Waspada/Surya Efendi

Anarkisme yang dipertontonkan massa pendukung Provinsi Tapanuli (Protap) hingga menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat, kemarin, akan menjadi catatan hitam sejarah dari sebuah perjalanan hidup berdemokrasi anak bangsa di tanah air khususnya Sumatera Utara.

Unjuk rasa massa Protap yang anarkis jelas bukan sebuah perilaku demokrasi yang dewasa. Tapi sebuah sikap pemaksaan kehendak yang sangat-sangat mencederai arti hidup berdemokrasi.   Anarkisme dari pemaksaan kehendak yang tidak saja disertai intimidasi dan pengrusakan itu, juga merenggut jatuhnya korban jiwa.

Yang membuat miris adalah, korban anarkisme massa tersebut justru seorang anak manusia, putra terbaik Sumatera Utara yang sepatutnya dihormati.  Bukan karena semata-mata jabatan yang disandangnya, tapi dihormati atas nilai-nilai demokrasi,terlebih atas nilai-nilai kemanusiaan.

rusuh-dprd1

Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat (baju kaos putih) dipapah sebelum meninggal dunia saat berlangsung aksi massa pendukung Protap, Selasa (3/2). Foto: Detikcom

Melihat dan menelaah apa yang terjadi dalam insiden di gedung dewan, kemarin,  maka sesungguhnya tindakan massa pendukung Protap, bukan saja telah mencederai makna hidup berdemokrasi, tapi juga mempertontonkan sebuah pertunjukan demokrasi yang sangat “democrazy”. 

Itu benar-benar sebuah pertujukan “demokrasi gila” yang sangat tidak menghibur, apalagi mendidik.  “Democrazy” sepatutnya tidak dianut oleh orang-orang ‘waras’– yang punya cara pandang jauh ke depan. Orang-orag yang mengedepankan kesantunan dan selalu menjunjung semangat musyawarah mufakat  sebagai bagian dari nilai-nilai luhur yang semestinya dianut setiap anak bangsa di negeri ini.

Padahal, parodi politik “democrazy” yang ditayangkan sebuah televisi swasta itu sajapun sama sekali jauh dari kesan “kegilaan”. Justru sebaliknya, “democrazy” yang dipertunjukkan adalah  nilai-nilai pembelajaran demokrasi yang menghibur dan mendidik.

Sikap pemaksaan kehendak yang dilakukan massa pendukung Protap kemarin, merupakan sesuatu yang sangat disesalkan. Sesungguhnya, anarkisme yang mereka lakukan, justru akan menjadi boomerang bagi perjuangan mereka. Dus, ‘kerugian besar’ bagi kelompok elitis yang ambisius terealisasinya provinsi baru  pemekaran Provinsi Sumatera Utara itu.  

Perilaku yang mereka pertunjukkan di gedung dewan kemarin, bukan melahirkan simpati bagi perjuangan pembentukan Protap, tapi memperbesar jurang antipati dari kelompok-kelompok yang menolak Protap.

Anarkisme massa Protap di gedung dewan, membuat mereka mundur jauh ke belakang. Meski tidak serta merta padam, tapi perjuangan mereka akan menemui jalan yang gelap dan semakin terjal.(*)

Protap dan Keberingasan Massa

dikeroyok2

MEDAN, 3/2 - EVAKUASI. Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat (berpeci) ketika dievakuasi menyusul kekerasan dalam aksi demo pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di Gedung DPRD Sumut, Selasa (3/2). Ketua DPRD Sumut akhirnya meninggal dunia setelah dilarikan ke Rumah Sakit Gleni Internasional Medan. FOTO ANTARA/Irsan Mulyadi

Sontak seolah tak percaya dengan kabar duka, Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat, mendadak meninggal dunia. Bukan karena sakit atau celaka. Tapi karena dihakimi massa demonstran pendukung Protap (Provinsi Tapanuli), Selasa (3/2).

Dia ambruk setelah dipukuli dan didorong massa yang beringas. Dia sempat diamankan ke ruang Fraksi Partai Golkar. Namun di ruangan itu diduga Aziz menghembuskan nafas terakhirnya sebelum jasadnya dilarikan ke Rumah Sakit Gleni di Jalan Listrik yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung DPRD Sumut.

Kematian Aziz yang baru sekitar dua bulan menggantikan Abdul Wahab Dalimunthe, merupakan antiklimaks masalah pembentukan Protap yang sejak dua tahun ini terus diperdebatkan. Sudah tak terhitung kerugian materil dan moril akibat perdebatan yang tak juga berujung ini.

Tindakan kekerasan dilakukan massa pendukung Protap semestinya tidak boleh terjadi, apalagi terhadap seorang ketua  lembaga  wakil rakyat dan terjadi di rumah rakyat.

Tentu saja ini insiden yang sangat di luar dugaan, disesalkan, sekaligus memilukan. Tak hanya bagi masyarakat yang kontra terhadap Protap, bahkan mungkin juga bagi para tokoh dan pendukung Protap sendiri.

Kita berharap, insiden yang ‘menumbalkan’ nyawa Ketua DPRD Sumut ini, bukan merupakan bagian dari sebuah skenario aksi massa pendukung Protap. Karenanya tugas polisi  mengungkap tuntas motif di balik insiden yang menelan korban jiwa ini.

Apapun penyebab kematian Aziz, keberingasan massa demonstran  pendukung Protap di gedung wakil rakyat, merupakan tindakan yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi dan makna kebebasan berpendapat.

Keberingasan massa demonstran pendukung Protap yang melakukan pemaksaan kehendak, sudah termasuk dalam ranah perbuatan pidana yang tak boleh dibiarkan dan ditolerir. Aparat penegak hukum, terutama kepolisian harus segera bertindak. 

Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah mendapat kabar ini, melalui Mendagri Mardiyanto telah memerintahkan Kapolri segera mengusut serius insiden dan menindak tegas secara hukum semua pelaku melakukan pemukulan sehingga Ketua DPRD Sumut meninggal.

Tewasnya Ketua DPRD Sumut Aziz Angkat juga merupakan cermin kegagalan polisi melindungi anggota perlemen. Kapoltabes Medan maupun Kapolda Sumut harus bertanggungjawab dan segera menebus kegagalannya itu dengan secepatnya mengusut dan menangkap semua pelaku yang terlibat dalam insiden yang memakan korban jiwa ini.

Polisi juga harus mengungkap siapa dalang intelektual di balik keberingasan demonstran pendukung Protap di DPRD Sumut kemarin. Sebab, sangat kecil kemungkinan aksi massa tersebut berdiri sendiri dan spontanitas, tanpa dikoordinir atau didalangi aktor-aktor intelektual.

Pemerintah dan semua pihak termasuk partai-partai politik hendaknya juga segera mengambil langkah-langkah konkrit agar insiden ini tidak merembes dan menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang dapat mengancam suasana kondusif yang selama ini terpelihara di Sumut.

Semua pihak hendaknya dapat mengambil hikmah atas insiden yang menewaskan Ketua DPRD Sumut ini. Dus, secara arif dan bijak, menjadikan hal ini sebagai pelajaran pahit tentang bagaimana seharusnya hidup berdemokrasi yang mengedepankan semangat persatuan, persaudaraan, dan kekeluargaan. *

Penting Gak Sih Kode Etik Blogger?

hackerIni dia yang masih jadi perdebatan dan sampai kini terus menggelitik pemikiran saya. Bicara penting atau tidak penting, berarti kita harus tahu dulu apa itu kode etik.

Terdiri atas dua suku kata; kode dan etik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kode memiliki tiga pengertian. Pertama, tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu (untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah, dsb). Kedua, kumpulan peraturan yang bersistem. Ketiga, kumpulan prinsip yang bersistem.

Etik, bisa berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, bisa juga berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedang Kode etik artinya norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.

Itu berarti, kode etik sifatnya hanya mengikat kelompok tertentu saja dan tidak berlaku bagi kelompok lain. Sebagaimana kode etik jurnalistik, hanya berlaku bagi wartawan. Kode etik dokter, hanya berlaku bagi dokter. Demikian juga kode etik pengacara, kode etik profesi atau komunitas-komunitas lainnya.

Sederhananya menurut saya, Kode Etik Blogger berarti norma-norma yang disepakati blogger sebagai landasan tingkah laku ngeblog di internet. Dalam bayangan saya, kalau ada blogger yang melanggar kode etik, berarti harus ada sanksi.

Pertanyaannya adalah, benar gak sih kode etik blogger itu penting?

Dari pengamatan saya, jawaban atas pertanyaan ini beragam. Sebagian bilang tidak, sebagian lagi bilang penting. Bagi blogger yang mengatakan tidak penting, mungkin beranggapan, untuk apa membuat aturan-aturan yang justru mempersulit atau mengekang diri sendiri untuk berekspresi. Toh selama ini tanpa kode etik pun, semua berjalan normal dan wajar-wajar saja.

Bagi blogger yang mengatakan penting, mungkin beranggapan, dengan adanya kode etik akan memperkecil peluang blogger yang hanya ingin menjadikan media blog sebagai sarana untuk ‘main-main’, ‘menyampah’, atau bahkan membuat kekacauan.

Ada pula kelompok ketiga, blogger yang ‘cuek’. Pada kelompok ini ada atau tidak ada kode etik blogger, bagi mereka no problem alias gak ngaruh, pokoknya ngeblog jalan terus.hacker12

Nah, sampai di situ kelihatan kalau di kalangan blogger sendiri belum ada kesepahaman dan belum ada upaya konkrit untuk menggiring para blogger agar sepaham dengan masalah penting atau tidaknya ada kode etik ini.

Kode etik masih sebatas wacana yang menjadi bahan diskusi dan perdebatan, baik di komunitas dunia maya, maupun dunia nyata. Sampai kini belum ada satu kesimpulan perlu atau tidak, penting atau tidak kode etik blogger. Sementara dunia ngeblog, trennya terus berkembang dan sangat dinamis.

Okelah, kita berandai-andai Blogger Indonesia sepakat perlu ada kode etik. Pertanyaannya, siapa yang akan membuat kode etik blogger itu ? Sebab dalam pemikiran saya, mustahil menghasilkan kode etik blogger yang legitimate kalau menyerahkan pembuatan kode etik hanya kepada satu dua orang atau kelompok (blogger) yang kapasitas, kapabilitas, dan kompetensinya tidak jelas.

Padahal kode etik itukan akan menjadi pedoman normatif yang mengatur tata prilaku setiap blogger Indonesia dalam berpendapat/berekpresi melalui blognya.

Tidak mungkin juga masing-masing blogger diminta membuat kode etik, kemudian kode etik itu dikompilasi sedemikian rupa untuk kemudian dibakukan menjadi kode etik.

Ada juga pemikiran, diserahkan saja pembuatan kode etik blogger kepada pemerintah. Apa iya para blogger rela dan siap menerima hasil dan konsekuensinya ? Kayaknya sesuatu yang nggak mungkinlah. Mestinya, karena ini untuk blogger dan yang melaksanakannya juga blogger, yang membuat kode etik ya harusnya blogger, bukan pihak lain.

Seperti wartawan, yang membuat kode etik jurnalistik kan juga wartawan. Hanya saja, wartawan yang mana? Tentunya wartawan yang merepresentasi dari asosiasi-asosiasi terstruktrur yang menaungi si wartawan dan dilegitimasi termasuk oleh pemerintah. Begitu juga kode etik dokter, pengacara, dan sebagainya.

Bicara mengenai asosiasi blogger yang legitimate, itu yang sampai sekarang sepertinya belum ada di Indonesia. Kalau pun ada di beberapa daerah, menurut saya itu baru semacam paguyuban-paguyuban blogger saja.

Kalaupun kode etik dirasa penting untuk segera dibuat, tentunya juga harus ada regulasi dari pemerintah untuk mendorong dibentuknya asosiasi blogger. Sebab, saya pesimis kalau hanya menyerahkan sepenuhnya kepada ‘kesadaran’ blogger untuk membentuk asosiasi yang legitimate.

Dan jangka panjang, tentunya keberadaan asosiasi blogger ini bukan hanya untuk menyukseskan pembuatan kode etik semata. Tapi berfungsi sebagaimana layaknya organisasi yang memiliki peran dan tujuan yang lebih luas lagi bagi kepentingan anggotanya, dalam hal ini blogger tentunya.Nah, kalau saya ditanya, apakah kode etik bagi Blogger Indonesia itu penting ? Saya akan jawab penting, tapi tidak diperlukan. Alasannya, karena sebenarnya, aturan/hukum positif di Negara ini toh sudah ada.

Kasus situs lapotuak.wordpress.com yang sudah dibreidel WordPress gara-gara menghina nabi dan jelas-jelas bernuansa SARA, adalah salah satu contoh kasus bahwa pemerintah sudah menjalankan fungsi pengawasannya. Pembreidelan situs lapotuak.wordpress.com sebenarnya juga tak terlepas dari sikap tanggap pemerintah untuk menindaklanjutinya ke WordPress selaku Host yang berwenang membreidel blog.

Saya sangat apresiatif dengan rencana pemerintah seperti yang dinyatakan Menteri Komunikasi dan Informasi RI Muhammad Nuh ke depannya akan lebih intens memantau blog-blog yang berbau SARA. Ini membuktikan sebenarnya pemerintah punya kuasa untuk mencegah dan ‘menindak’ blog-blog yang berpotensi membahayakan keamanan dan keutuhan Negara.

Malah bila perlu menurut saya, blog-blog yang memancing konflik SARA bukan cuma dibreidel, tapi bloggernya harusnya juga dipidanakan biar kapok dan jadi pembelajaran bagi blogger yang lain.

Tapi satu hal yang harus selalu kita cermati sebagai Blogger Indonesia, jangan sampai kebijakan pemantauan ini nantinya malah menjadi ‘jalan masuk’ bagi pemerintah untuk mengekang kekebasan berpendapat atau berekpresi blogger.

Karenanya, pemerintah pun harusnya membuat batasan yang jelas tentang blog-blog seperti apa yang dipantau dan bisa dijerat dengan ancaman sanksi breidel atau pidana. *(Artikel ini khusus saya dedikasikan buat sahabat saya Mas Wisnoe di http://delenger.wordpress.com).***

 

Apa Salah Syekh Puji?

Dia kaya raya, relatif masih muda, sehat, punya perusahaan besar, punya pondok pesantren, dan dianggap memiliki wawasan agama yang lebih daripada kebanyakan orang awam karena dia juga bergelar syekh. Lantas apa salahnya dia menikah lagi, toh istrinya tidak protes dan agamanya membolehkan?

Tentu sampai di situ tidak ada yang salah dengan Syekh Puji. Tapi menjadi masalah ketika wanita yang dipilihnya sebagai istri keduanya adalah gadis yang masih di bawah umur. Mungkin itu juga belum begitu menjadi masalah serius kalau seandainya saja Pujiono Cahyo Widiyanto bukan seorang figur yang dianggap panutan umat/masyarakat karena dia bergelar syekh dan kyai.

Syekh yang oleh masyarakat Semarang dicap ‘kyai nyentrik’ itu menikahi Lutfiana Ulfa bulan Agustus 2008 lalu. Padahal anak pasangan suami istri Suroso (35) dan Siti Hurairah (33), warga Desa Randugunting, Kecamatan Bergas itu baru saja lulus SD dan berumur 12 tahun.

Kalau saja yang dinikahi Syekh Puji itu adalah Siti Lutfiana anak tetangga saya yang Juni kemarin baru tamat SMA, mungkin persoalannya akan lain alias orang mengganggap tak masalah dengan pernikahan itu.

Atau seandainya Syekh Puji menikah lagi dengan Ulfa Anggraini janda muda beranak dua di komplek tempat tinggal saya dan menikah lagi dengan Lutfiana Ulfa lainnya yang sudah cukup umur, tentu tak ada yang perlu diributkan dia punya istri sampai empat.

Sepanjang yang dinikahi mau, wali atau orang tuanya setuju, aturan syariat dan undang-undang dipatuhi, yang menikahi mampu menafkahi lahir bathin, mampu berlaku adil, whay not punya istri empat ? (Soal beristri empat pasti ada yang gak setuju…hehehe)

Tapi yang lebih membuat orang-orang di seantero negeri meradang, setelah menikahi Lutfiana Ulfa Syekh Puji malah ingin mencari dua gadis lagi yang usianya lebih muda, yakni 9 tahun dan 7 tahun untuk dia jadikan istri ketiga dan keempat.

Terlepas dari apapun niat, motivasi, dan dalil agama yang menjadi rujukan Syekh Puji, menikahi anak di bawah umur jelas merupakan pelanggaran hukum pidana menurut UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak yang sebagiannya tentu mengadopsi ajaran-ajaran agama.

Saya tidak yakin agama saya yang diturunkan dari ‘langit’ dan begitu mulia menjunjung tinggi harkat martabat serta fitrah manusia, ada ajarannya yang seolah ‘berlawanan’ dengan aturan produk manusia yang dianggap lebih manusiawi. Ini pasti ada kesalahan dari penafsiran suatu ajaran tentang pernikahan itu.

Kalau memang menurut pandangan kesehatan maupun psikologis, menikahi gadis di bawah umur lebih banyak mudharatnya, kenapa para ulama di tanah air kita tidak berani tegas memfatwakan haram?

Kasus Syekh Puji ini harus menjadi “PR” serius bagi para ulama terutama melalui wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera menyikapinya. Mungkin perlu ada fatwa-fatwa baru untuk menyikapi kasus-kasus kontemporer semisal pernikahan Syekh Puji ini agar umat tidak semakin bingung.***

Seremoni Razia

Beberapa hari belakangan ini, hampir semua media cetak maupun elektronik lokal dan nasional tanah air ‘kompak’ memberitakan gelaran razia petugas instansi terkait ke pusat-pusat penjualan makanan dan minuman di seluruh daerah.

Katanya, tujuan razia untuk mengantisipasi agar makanan dan minuman tak layak dikonsumsi beredar saat menjelang hari besar keagamaan seperti sekarang.

Cuma yang mengherankan, kenapa baru diintensifkan saat hari-hari besar keagamaan saja, sementara di hari-hari atau bulan biasa, razia nyaris tak pernah dilakukan, kecuali ada temuan yang itupun setelah ada jatuh korban.

Pemerintah persis pemadam kebakaran, baru turun saat sudah terjadi kebakaran. Bukan mementingkan upaya pencegahan agar tidak terjadi kebakaran.

Mungkin ini akibat mental aparat pemerintah instansi terkait yang tidak professional dan cenderung korup. Apalagi, bukan rahasia umum kalau selama ini masih banyak oknum aparat suka ‘main mata’ dengan para pelaku usaha nakal untuk membiarkan barang-barang illegal beredar.

Hukum ada, tapi tidak ditegakkan. Jangankan sanksi pidana, untuk mencabut izin usaha terhadap pengusaha yang sudah ‘kelewatan’ nakalnya pun nyaris tak pernah terdengar dilakukan.

Makanya tak heran jika sebenarnya razia yang dilakukan pemerintah yang katanya untuk mencegah produk-produk makanan dan minuman illegal itu tak lebih hanya sekadar seremoni. Dampaknya tak akan ada, kecuali sebatas ‘pamer’ pemerintah supaya dibilang tidak tidur.***

‘Kreatifitas’ Menjijikkan

‘Kreatifitas’ Darno dan teman-temannya ‘merekondisi’ daging bekas sampah restoran dan hotel seperti yang sempat ditayangkan televisi beberapa hari lalu, benar-benar membuat saya jijik sekaligus prihatin.

Saya gak bisa membayangkan, apa yang ada di benak Darno sewaktu memasak daging-daging bekas sampah yang sudah mengandung belatung itu sewaktu ‘direkondisi’ agar bisa kembali dimakan manusia.

Saya bersyukur aktivitas Darno mengolah daging bekas sampah di kawasan Kapuk, Cengkareng, Jakarta itu akhirnya digrebek polisi dan pemerintah terkait. Apapun alasan yang dikemukakan Darno, dia patut diganjar hukuman setimpal. Himpitan ekonomi bukan berarti menjadi alasan pembenaran untuk menghalalkan segala cara.

Kalau saja daging bekas sampah atau daging busuk itu diolah kembali untuk jadi makanan babi atau binatang lainnya, barangkali ceritanya akan lain. Bahkan mungkin, usaha seperti Darno itu pantas dipertimbangkan untuk didukung.

Tapi ini justru diolah untuk makanan manusia. Entah manusia seperti apa yang mau mengkonsumsi daging bekas sampah. Atau jangan-jangan hanya orang yang ‘korslet’ syaraf otaknya yang mau mengkonsumsi daging hasil olahan Darno itu.

Di sisi lain, terungkapnya kasus Darno membuat saya juga khawatir. Sebab jangan-jangan masih ada ‘Darno-Darno’ lain di sekitar kita.

Tiba-tiba perut saya jadi mual membayangkan daging ‘rekondisi’ dari bekas ‘kunyahan’ orang yang dibuang ke tempat sampah dan mulai berbelatung itu tiba-tiba sudah ada di piring saya. ***

Antara Bambang Hendarso Danuri, Judi, dan Preman

Nama Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri tiba-tiba melesat bak meteor. Dalam sekejap perwira tinggi yang menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri ini menjadi buah bibir seantero pertiwi.

Maklum saja, dia baru saja diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR sebagai calon tunggal pengganti Kapolri Jenderal Sutanto yang tanggal 1 Oktober nanti, pensiun.

Padahal masih ada sejumlah nama yang secara kepangkatan dan pengalaman juga layak dipromosi jadi Kapolri. Sebut saja seperti Makbul Padmanegara (Wakapolri), , Imam Haryatna (Kababinkam), dan Gories Mere (Kalakhar BNN).

Namun sepertinya, Sutanto memang ‘hanya’ mempersiapkan Bambang HD untuk menggantikannya sebagai Kapolri. Dan Presiden SBY yang telah digadang-gadang Partai Demokrat bakal dicalonkan lagi jadi presiden 2009-2014, pun agaknya lebih ‘sreg’ dengan Bambang HD ketimbang nama yang lain.

Meski begitu, jalan Bambang HD menuju kursi Kapolri belum putus. Dia masih harus melewati tahapan fit and proper test di DPR RI. Syukur-syukur dia tak bernasib sama seperti ketika calon Gubernur Bank Indonesia diuji DPR RI. Tahapan fit and proper test di DPR RI, malah ujung-ujungnya jadi ajang fee and property.

Beberapa hari pasca nama Bambang HD diusulkan jadi calon tunggal Kapolri, Partai Keadilan Sejahtera Sumatera Utara menggelar aksi damai menuntut agar Kapolri mendatang harus punya komitmen seperti Sutanto yang anti judi, korupsi, premanisme, illegal loging, illegal fishing, dan narkoba.

Lalu apa hubungannya Bambang HD, dengan penjudi dan preman?

Bagi masyarakat Sumatera Utara, nama Bambang HD terbilang istimewa. Di masanya menjadi Kapolda Sumatera Utara antara tahun 2005-2006, penyakit masyarakat terutama judi dan premanisme yang sudah sangat kronis, ‘dioperasi’ total hingga nyaris ke akar-akarnya.

Di eranya menjadi “Toba-1” (Kapoldasu,red), preman termasuk yang berkedok OKP–yang dulu sangat ‘ditakuti’ dan meresahkan masyarakat, dalam sekejap dibuatnya mati kutu. Judi yang menahun—dalam hitungan hari, tiarap dan lenyap bersama bandar-bandarnya.

Maklum saja, para big boss preman termasuk yang berkedok OKP ketika itu setali tiga uang dengan para bandar judi. Sekian lama duet ini seolah memegang remote ‘kendali’ Sumatera Utara.

Penegak hukum terutama polisi begitu lama mereka buat ‘mabuk’ dan ‘tertidur’. Bahkan, ‘siapa menjabat apa’, mereka pun terkesan ikut andil menentukan! Sementara masyarakat mereka buat terkesima dan terpedaya karena sikap kedermawanan mereka yang ‘sok’ Robinhood.

Meski tidak sampai ‘sembuh’, tapi gebrakannya itu telah membawa dampak perubahan sangat besar bagi pencitraan Sumatera Utara yang dulunya keras dan ‘sangar’. Langkahnya tersebut belakangan menjadi titik tolak bagi program utama setiap Kapoldasu di periode-periode berikutnya sampai sekarang.

Kendati begitu, banyak yang memandang, operasi pemberantasan judi dan preman secara ‘besar-besaran’ di Sumatera Utara ketika itu bukan murni kemauan Bambang HD yang sudah menjabat Kapoldasu jauh sebelum Sutanto diangkat menjadi Kapolri.

Operasi pemberantasan judi dan preman hanyalah kemauan Sutanto yang ketika itu baru saja dilantik menjadi Kapolri menggantikan Dai Bachtiar.

Konon, Sutanto yang notabene juga mantan Kapoldasu, memendam ‘dendam’ kepada para mafia judi dan preman di Sumatera Utara yang telah membuatnya ‘terdepak’ dari kursi Kapoldasu karena sikapnya yang sangat anti judi dan premanisme. Wallahu’alam.

Karenanya, di balik rasa bangga masyarakat Sumatera Utara karena untuk kali berikutnya setelah Sutanto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mempercayakan calon Kapolri kepada mantan Kapoldasu, ada segelintir keraguan akankah komitmen Bambang HD masih sama seperti komitmen Sutanto bila seandainya dia benar-benar ditetapkan menjadi Kapolri ?

Prestasi gemilang adik kandung Mayjen TNI (Purn) Tritamtomo ‘Panggabean’ mantan Pangdam I Bukit Barisan yang juga sempat menjadi calon Gubernur Sumatera Utara semasa menjadi “Toba-1” adalah mengejar dan menangkap pembalak liar kelas kakap, Adelin Lis.

Sukses mengemban tugas sebagai “Toba-1”, Sutanto mempromosikannya ke posisi strategis di Mabes Polri sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal.***