Sumut Kehilangan Oegroseno

Jabatan Kapoldasu diserahterimakan dari Irjen Pol Drs Oegroseno SH kepada Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro SH dalam suatu upacara yang berlangsung di Lapangan KS Tubun Mapoldasu Jalan Medan-Tanjung Morawa, Rabu (23/3/2011) pagi.

Oegroseno selanjutnya harus meninggalkan masyarakat Sumut untuk mengemban tugas barunya sebagai Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan (Kalemdiklat) Mabes Polri.

Sejak menjabat Kapoldasu pada Maret 2010, banyak sekali kesan baik yang ditinggalkan lulusan terbaik ke-2 Akpol Angkatan 1978 itu kepada masyarakat Sumut. Wajar bila banyak yang merasa kehilangan sosok polisi yang ramah, santun, komunikatif, dan terbuka kepada siapapun itu.

Selama menjabat Kapoldasu Oergroseno bukan hanya peduli pada tugas rutinitas di bidang keamanan dan ketertiban semata, tetapi juga mampu melakukan upaya pembinaan kepada berbagai aspek dan lapisan masyarakat.

Ia sosok Kapolda yang berhasil merekatkan masyarakat di wilayah hukumnya. Ini karena kepribadian Oegroseno yang mudah bergaul dengan siapa saja mulai dari kalangan agamawan, akademisi, pemuda, pengusaha, olahragawan, pers hingga kalangan komunitas tertentu seperti komunitas motor gede dan sepeda ontel. Intinya, Oegroseno dapat menjadi sosok saudara, sahabat, dan guru yang baik bagi semua orang.

Ide-ide briliannya  selalu bisa menjadi solusi dan jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan yang sebenarnya berpotensi menimbulkan kerugian dan perpecahan.

Ia Kapoldasu pertama, bahkan mungkin satu-satunya Kapolda yang mengajak orang berpantun dalam berunjuk rasa menyampaikan aspirasi.

Idenya ini muncul dilatarbelakangi keprihatinan dengan fenomena maraknya unjuk rasa menjurus anarkis sejak pascareformasi di berbagai daerah. Ia ingin cara-cara unjuk rasa masyarakat menyampaikan aspirasi dilakukan lewat cara-cara yang santun dan elegan.

Kendati tak sedikit  kalangan pesimis idenya ini berhasil, usaha Oegroseno ini tak bisa dipandang sebelah mata. Paling tidak Oegroseno mampu menyelami dan menggali kearifan lokal dari budaya Melayu di Sumut menjadikan sebuah kontribusi mengangkat harkat dan karakter bangsa lewat berpantun.

“Sangat jarang kita menemukan sosok berkualitas berhati tulus, memegang teguh komitmen, dan mengerti nilai-nilai persahabatan tanpa pamrih seperti seorang Oegroseno.” Begitu kata Rahmat Shah yang Anggota DPD RI asal Sumut mengenang sosok kepribadian Oegroseno.

Sumut kehilangan sosok perekat masyarakat yang peduli kepada kesusahan dan keresahan masyarakat, termasuk dalam hal keadilan dan pemberantasan mafia hukum.

Polisi Profesional
Di balik keramahan dan kesantunannya, ia juga dikenal sebagai sosok polisi yang profesional. Ia adalah sosok polisi yang low profile, tegas, berani, sulit berbelok dari suatu masalah, teguh berpendirian, dan sangat berprinsip walaupun harus menghadapi risiko atas karier dan popularitasnya.

Banyak hal yang telah dilakukan Oegroseno untuk membenahi institusi dan mental anggota Polri di Sumut untuk menjadi lebih baik. “JANGAN ADA LAGI AIR MATA DAN DARAH MENGALIR DI KANTOR POLISI” adalah salah satu karyanya yang masih begitu melekat diingatan masyarakat Sumut.

Sebuah slogan yang mengandung pesan dan makna mendalam yang ia canangkan di awal-awal menjabat Kapoldasu. Slogan ini menggambarkan betapa besar keinginan Oegroseno membangun sebuah paradigma baru untuk mengubah imej dan anggapan masyarakat yang terlanjur negatif terhadap pelayanan institusi dan aparat Polri di Sumut selama ini.

Di balik sosoknya yang pengayom dan tenang, ia adalah seorang pemimpin yang tegas dan pengagung kebenaran. Ketegasannya bisa terlihat ketika ia tidak sungkan-sungkan menindak tegas anggotanya yang tak profesional menangani kasus maupun melakukan pelanggaran seperti yang terjadi di Polresta Pematang Siantar dan  Polsekta Medan Baru.

Keberanian Oegroseno yang sangat berprinsip dan teguh pada pendirian pada apa yang diyakininya benar juga tergambar saat ia berulangkali menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa di Sumut tidak ada jaringan teroris, kecuali hanya kelompok bersenjata.

Penegasannya ini terkait aksi kelompok bersenjata merampok Bank CIMB Niaga di Jalan AR Hakim Medan di siang bolong hingga menewaskan satu anggota Brimob pada 18 Agustus 2010 dan menyerang Mapolsek Hamparan Perak hingga menewaskan tiga anggota polisi pada 22 September 2010 dini hari.

Bertolak belakang dengan pernyataan pihak Mabes Polri yang saat itu dipimpin Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri pascaaksi Satuan Densus 88 menggerebek dan menangkap orang-orang yang diduga terlibat jaringan teroris dari sejumlah lokasi di Sumut pada rentang September-Oktober 2010.

Pihak Mabes Polri ‘ngotot’ mengait-ngaitkan para pelaku yang ditangkap Densus 88 tersebut dengan aksi perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan Mapolsek Hamparan Perak.

Namun Oegroseno seolah tak gentar ‘berseberangan’ pendapat dengan para pimpinan di Mabes Polri kendati betapa ia berhadapan dengan risiko terhadap karier dan popularitasnya.

Ia membuktikan keyakinannya itu dengan kerja keras memimpin jajarannya yang dalam tempo relatif singkat sukses menumpas gerombolan bersenjata api di kawasan Dolok Masihul, Sergai, yang belakangan diketahui terkait aksi perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan Mapolsek Hamparan Perak.

Kini Oegroseno harus meninggalkan masyarakat Sumut untuk mengemban tugas lebih berat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan (Kalemdiklat) Mabes Polri, yakni menyiapkan sosok-sosok calon anggota Polri profesional dambaan masyarakat.

Jika usia pensiun di kepolisian 58 tahun, Oegroseno yang dilahirkan di Jakarta pada 17 Februari 1956 masih punya kesempatan sekitar tiga tahun lagi berdinas di Polri. Semoga jabatan barunya ini bukan puncak dari kariernya di Polri

Dan, masyarakat Sumut meletakkan harapan kepada Kapoldasu yang baru, Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro SH untuk meneruskan hal-hal baik yang telah dilakukan Oegroseno sebelumnya.

Masyarakat Sumut berharap Wisjnu Amat Sastro bisa meningkatkan kinerja kepolisian dalam upaya memelihara keamanan dan ketertiban di daerahnya. Wisjnu juga diharapkan dapat  bersikap tegas menindaklanjuti kasus-kasus menonjol yang ada seperti narkoba, perjudian, dan mafia hukum.(***)

Ingin Keliling Indonesia Naik Moge

Banyak cara menikmati kekayaan panorama alam dan budaya Indonesia. Dari cara yang termurah dengan berjalan kaki atau naik sepeda, hingga yang berbiaya wah seperti yang akan dilakoni sejumlah penggemar motor gede (moge) anggota Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) Kota Medan ini.

Adalah Salimin Djohan Wang, Basri Cheng, Fransiscus, Mito, dan sejumlah rekannya bertekad mengelilingi Indonesia di delapan kepulauan dalam tempo 60 hari dengan mengendarai moge. Panjang rute yang akan mereka lintasi tak kurang dari 12.000 kilometer.

Mereka start dari Kota Medan pada 9 April dan finish kembali di Kota Medan pada 8 Juni 2011. Rute perjalanan yang akan mereka lalui tak cuma daratan, tapi juga akan 11 kali menyeberangi lautan menumpang kapal feri.
Inilah rute yang akan mereka lalui: Medan (start)-Pekan Baru-Jambi-Palembang-Bandar Lampung-Jakarta-Bandung-Semarang-Yogyakarta-Solo-Malang-Surabaya-Madura-Banyuwangi-Bali-Lombok-Sumbawa-Flores-Makassar-Toraja-Palu-Gorontalo-Manado-Samarinda-Balikpapan-Banjarmasin-Palangkaraya-Pontianak-Jakarta-Bandar Lampung-Bengkulu-Padang-Sidikalang-Takengon-Banda Aceh-Lhokseumawe-Medan (finish).

Riders moge yang tergabung dalam Team Moge Keliling Indonesia ini akan mengendarai tiga unit moge enduro tipe adventure berkapasitas silinder di atas 750 cc.  Salimin Djohan Wang, Basri Cheng, Mito akan menjadi ‘trio riders utama’,  sedang 5 rekan mereka (Rijanto, Fransiscus, Johannes, Herwanto Tris, dan Rudi Daslin) menjadi riders estafet.  Tim ini juga menyertakan 1 mekanik, 1 cameraman, 1 produser film, dan 1 unit mobil SUV 4×4.

Misi yang mereka emban dalam touring kali ini berbeda dengan touring-touring mereka sebelumnya. Selain mengemban misi sosial dan pariwisata, mereka juga berambisi menorehkan Rekor MURI sebagai tim riders moge pertama yang mampu mengelilingi Indonesia dalam tempo 60 hari.

Untuk mewujudkan misi dan ambisi ini, persiapan yang mereka lakukan tak tanggung-tanggung. Selain mempersiapkan fisik dan mental yang prima, kocek yang harus mereka rogoh juga bukan main, tak kurang dari Rp400 juta!

Uang sebanyak ini untuk membiayai semua kebutuhan mereka selama dalam perjalanan, termasuk untuk mendukung kegiatan dalam misi sosial dan pariwisata mereka. Selain melibatkan mekanik andal, berbagai spare part orisinil kebutuhan moge juga mereka datangkan dari Singapura.

“Semua persiapan untuk mendukung kelancaran dalam perjalan keliling Indonesia ini sudah cukup matang. Mudah-mudahan semuanya berjalan sesuai rencana,” kata Salimin Djohan Wang selaku touring leader Team Moge Keliling Indonesia dalam konferensi persnya di Republik Kopi, Jalan Setia Budi, Medan, Kamis (24/2/2011).

Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk berkenan membantu kelancaran dan keamanan saat tim ini melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia, termasuk dengan klub-klub riders moge di daerah-daerah yang akan dilalui.

Salimin mengaku gagasan membentuk tim untuk mengelilingi Indonesia ini merupakan keinginan beberapa riders IMBI. Dari perjalanan ini mereka ingin mengekplorasi dan memublikasikan kekayaan pariwisata dan budaya Indonesia kepada masyarakat tidak hanya di Tanah Air, tapi juga dunia.

Maka itu dalam tim ini dilibatkan produser film dan cameraman untuk merekam setiap momen dan tempat-tempat wisata maupun kehidupan masyarakat setempat yang menarik selama dalam perjalanan mengelilingi Indonesia.

“Hasil rekaman nantinya diedit dan akan diberi narasi semenarik mungkin untuk kemudian kami publikasikan melalui berbagai media agar masyarakat dunia tahu betapa kaya dan cantiknya alam Indonesia. Inilah yang akan kami sumbangsihkan untuk membantu pemerintah mempromosikan kepariwisataan Indonesia,” ujarnya.

Misi sosial yang akan mereka lakukan selama perjalanan di antaranya mengadakan kegiatan pemeriksaan kesehatan dan operasi katarak gratis bekerja sama dengan Lions Club, PMI, dan pemerintah daerah setempat.

Mereka juga membawa misi safety riding dengan mengutamakan keamanan berkendara dan perlengkapan keamanan pengendara seperti pemakaian helm yang benar dan jaket pelindung serta manaati peraturan lalu lintas dan marka jalan.

Soal Rekor MURI yang ingin mereka bukukan, menurut Salimin  bebera riders moge memang ada yang telah mengelilingi pulau-pulau Indonesia, namun hanya melakukan perjalanan tunggal dan tidak mencatatkan perjalanannya ke MURI.

Sedang secara tim, sepengetahuannya baru mereka yang pertama akan melakukannya. Ia dan rekan-rekannya optimis Team Moge Keliling Indonesia  mampu mencatatkan rekor MURI untuk perjalanan mereka mengelilingi Indonesia via darat dan laut dalam waktu 60 hari.

Pengalaman mereka touring dengan mengendarai moge memang tidak diragukan lagi.  Ini pula yang menjadi bekal untuk menuntaskan ambisi mereka keliling Indonesia dalam tempo 60 hari. Sejak 2006, mereka telah melakukan touring baik di dalam maupun di luar negeri seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Namun touring mengeliling Indonesia kali ini akan menjadi pengalaman pertama mereka. (**)

Sehari Bersama Komunitas Freed

Mentari Minggu pagi (13/12) di Kota Medan baru saja menyembul dari balik peraduannya. Namun suasana hening pagi itu tiba-tiba pecah oleh raungan sirine mobil vorijders polisi.

Mobil voridjders itu beranjak perlahan meninggalkan areal parkir Supermarket Berastagi Buah Jalan Gatot Subroto. Tak berapa lama, satu-persatu dari sekitar 50 unit mobil Honda mengikutinya di belakang berbaris memanjang..

Iring-iringan mobil pabrikan asal Jepang itu mulai membelah jalanan inti kota. Uniknya, hampir semua mobil yang melaju beriringan itu keluaran terbaru Honda bermerek Freed.

Maklumlah, hari itu memang ada event Freed Go Green yang pesertanya merupakan komunitas pemilik dan keluarga pencinta mobil Honda Freed. Kegiatan ini digelar main dealer Honda di tanah air, PT Prospect Honda Motor bersama tiga dealer di Medan yakni Honda IDK 1, Honda IDK 2, dan Honda Arista SM Raja.

Hampir 200 orang terlibat dalam event ini. Dalam rombongan tersebut turut serta Direktur Utama Honda PT Istana Deli Kencana (IDK) Aswin Wiryadi, Branch Manager Honda Arista SM Raja Soni Dharsono, Operation Manager Honda Arista SM Raja Djoni Bastian, dan perwakilan PT Prospect Honda Motor Setio Djahyadi.

Saya sendiri bersama tiga jurnalis mewakili media di Medan berada di belakang iring-iringan peserta. Kami berempat dalam satu mobil mendapat kesempatan menjajal kecanggihan, kenyamanan, dan kemewahan mobil yang ramah lingkungan tersebut.

Syukur, pagi yang cerah itu jalanan inti kota masih sepi dari kendaraan. Rute dari Jalan Gatot Subroto, Jalan Iskandar Muda, Jalan Gajah Mada, Jalan S Parman, Jalan Raden Saleh, Jalan Imam Bonjol, Jalan Suprapto, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Bukit Barisan, Jalan Kereta Api, Jalan Putri Hijau, Jalan Guru Patimpus dilalui tanpa hambatan.

Dari Jalan Guru Patimpus, iring-iringan mobil itu kembali menyusuri Jalan Gatot Subroto, kemudian berbelok ke kiri melahap Ring Road/Jalan Gagak Hitam hingga tembus ke Jalan Jamin Ginting Padang Bulan menuju arah Pancur Batu.

Dari sini inti touring mobil Honda Freed ini dimulai. Bumi Perkemahan Sibolangit dan taman bermain Hill Park, ke sanalah sebenarnya tujuan utama iring-iringan mobil ini.

Sekitar 45 menit berselang, seluruh peserta tiba di Bumi Perkemahan Sibolangit. Acara seremoni penyerahan dan penanaman pohon menandai puncak kegiatan Freed Go Green. Ada ratusan pohon ditanam hari itu. Kebanyakan merupakan tanaman menghasilkan, seperti durian, mangga, dan rambutan. Ada juga tanaman pelindung, seperti mahoni dan plamboyan.

Event ini merupakan wujud kepedulian komunitas Honda menyahuti semangat green car (mobil ramah lingkungan) dari produsen mobil asal negeri sakura itu.

Seperti yang dijelaskan Direktur Utama PT Istanda Deli Kencana (IDK) Aswin Wiryadi, Freed Go Green merupakan bukti Honda peduli menyikapi perubahan iklim akibat pemanasan global yang menjadi isu dunia sejak beberapa tahun belakangan ini.

“Kita ingin menunjukkan kepada masyarakat kalau Honda sangat konsern terhadap upaya memperbaiki kualitas lingkungan agar bersih dan sehat. Upaya ini juga telah diwujudkan Honda dengan memroduksi mobil-mobil yang  ramah lingkungan, salah satunya adalah Freed,” terangnya.

Selain berhasil mengembangkan mobil hybrid (ramah lingkungan) Honda juga telah membuktikan upayanya turut memperbaiki mutu lingkungan dengan membangun taman-taman kota yang disebut dengan Taman Honda di kota-kota besar.

Kehadiran Taman-taman Honda ini diharapkan dapat mengurangi tingkat polusi udara yang diakibatkan emisi gas buang hasil sisa pembakaran bahan bakar yang keluar dari knalpot ratusan ribu kendaraan bermotor terutama di perkotaan.

Direktur PT IDK Sofyan Utomo sebelumnya juga mengatakan, kegiatan ini sekaligus merupakan bagian dari Corporate Social Responsbility atau tanggung jawab sosial Honda terhadap masyarakat dan lingkungan. “Kita ingin buktikan kepada masyarakat kalau Honda dan para konsumennya juga peduli terhadap lingkungan,” terangnya.

Hal senada dikemukakan Setio Djahyadi selaku perwakilan dari PT Prospect Honda Motor. Menurutnya event Freed Go Freen sudah menjadi salah satu bagian dari Honda dalam upayanya mewujudkan program green car.

Terbukti upaya Honda ini telah mendapatkan apresiasi yang sangat bergengsi di dunia otomotif internasional. Berdasarkan hasil survei internasional, saat ini Honda diposisikan pada urutan teratas sebagai produsen kendaraan yang ramah lingkungan.

Sementara itu Branch Manager Honda Arista SM Raja Soni Dharsono didampingi Operation Manager Jhoni Bastian menyebutkan tidak kurang dari 42 mobil Honda Freed  meramaikan event touring and family gathering bertajuk Freed Go Green yang seluruhnya difasilitasi Honda ini.

Usai menanam pohon di kawasan Bumi Perkemahan Sibolangit, komunitas pemilik dan keluarga pecinta Honda Freed diajak ke taman bermain Hill Park. Di sana, selain bisa menikmati berbagai fasilitas bermain, para peserta juga berkesempatan saling beramah-tamah dan tukar-menukar informasi berbagai hal.

Dalam kesempatan itu Honda juga memberikan apresiasi kepada pemilik mobil Honda yang merekomendasi kerabat maupun kenalannya untuk membeli mobil-mobil Honda. Setelah seluruh rangkaian acara selesai, sore itu juga rombongan peserta Freed Go Green kembali ke Medan.

“Blok J” Ditunggu di Pilpres 2009

PIDATO POLITIKWakil Presiden Jusuf Kalla, Minggu (22/2) malam lalu menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman pribadinya di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat.

Meski JK datang dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, namun tak urung kedatangannya itu mengundang beragam penafsiran. Apalagi JK kini tidak lagi semata-mata sebagai Wapres, tapi juga sebagai seorang yang telah digadang-gadang menjadi saingan SBY sebagai Capres di Pilpres 2009.

JK yang merupakan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu memang telah menyatakan kesiapannya menjadi menjadi Capres. Ini merupakan langkah maju JK dan Partai Golkar yang selama ini ditunggu-tunggu banyak kalangan, terutama partai politik peserta Pemilu 2009.

Sebab, JK selama ini dinilai banyak kalangan baik di eksternal bahkan internal Partai Golkar, ‘takut’ memunculkan Capres sendiri dan lebih memilih mencari aman dengan tetap berharap digandeng Partai Demokrat yang telah mencalonkan SBY sebagai Presiden.

Sikap JK selama ini yang dianggap terlalu bergantung kepada SBY dengan Partai Demokratnya, dinilai banyak kalangan sangat merugikan Partai Golkar sebagai partai terbesar di Negara ini. Sementara partai politik lain justru terus mendorong agar Partai Golkar memunculkan Capres sendiri untuk bertarung di Pemilu 2009.

Sebab, dengan tidak lagi berkoalisinya Partai Demokrat dengan Partai Golkar, maka partai-partai lain punya kesempatan untuk membangun koalisi dengan kedua partai tersebut, katakanlah seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang. Keempat partai itu sepertinya siap ‘dipinang’ atau ‘meminang’ untuk menempati posisi Cawapres.

SBY dan JK seyogianya diagendakan bertemu, Senin pekan lalu sepulang dari lawatannya ke Luar Negeri, termasuk AS. Namun, RI-1 dan RI-2 ini batal bertemu. Keduanya batal bertemu diduga kuat ada kaitannya dengan ekses pernyataan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Ahmad Mubarok.

JK konon sempat tersinggung berat dengan pernyataan Mubarok yang meremehkan dan melecehkan Partai Golkar. Mubarok menyebut, Partai Golkar diperkirakan hanya akan mampu meraih 2,5% suara di Pemilu Legislatif 2009. Sementara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, masing-masing bakal memperoleh 20% suara.

Pernyataan Mubarok tersebut menyiratkan kalau Partai Demokrat yang menjagokan SBY sebagai Capres tidak akan lagi menggandeng JK di Pilpres 2009 sebagai calon wakil presiden maupun dengan kader lainnya yang diusung Partai Golkar.

JK yang saat itu lagi melakukan kunjungan ke sejumlah Negara termasuk AS, langsung merespon pernyataan Mubarok tersebut dengan menyatakan, Partai Demokrat bakal menuai mimpi buruk di Pemilu 2009.

Reaksi JK tersebut juga spontan disikapi SBY yang langsung melakukan klarifikasi atas pernyataan Mubarok. SBY merasa pernyataan Mubarok itu sangat berpotensi menggaggu ‘hubungan harmoninya’ dengan JK dalam menjalani sisa masa pemerintahan yang tinggal beberapa bulan lagi.

Namun pernyataan Mubarok tersebut ternyata ada hikmahnya. Gara-gara pernyataan Mubarok itu, Partai Golkar kini semakin ‘pede’ untuk memajukan Capresnya sendiri. Meski sejumlah kader Partai Golkar disebut-sebut dijagokan jadi Capres, namun dari sejumlah nama seperti Akbar Tanjung, Surya Paloh, maupun Sri Sultan Hamengku Bowono X, nama Jusuf Kalla diprediksi tampil jadi Capres Partai Golkar di Pilpres 2009.

Langkah politik Partai Golkar ini tentunya cukup melegakan banyak pihak terutama partai politik yang berharap ada nuansa baru di Pilpres 2009.

Kesiapan JK ternyata juga didukung berbagai kalangan, termasuk sejumlah tokoh nasional. Bahkan mantan Ketua MPR RI Amien Rais menilai Partai Golkar sebagai salah satu partai politik besar di Indonesia sudah sewajarnya mengusung calon presiden sendiri.

Sikap politik Partai Golkar ini kata Amien jauh lebih baik daripada menjadikan Partai Golkar seperti partai rental dengan imbalan sekian milyar rupiah agar kadernya bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden dari partai politik lain.

Sedang mantan Presiden DPP Partai Keadilan Sejehtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, juga menilai pencalonan JK menambah alternatif politik bagi masyarakat. Sebab, selain ada “blok S” (SBY) dan “blok M” (Megawati), bakal muncul “blok J” (Jusuf Kalla) di Pilpres 2009.

Karenanya banyak yang berharap, pasca kedatangan JK ke kediaman SBY kemarin, tidak akan membuat langkah politik Partai Golkar berubah. Partai Golkar harus konsisten memunculkan Capresnya sendiri.

Sebab jika sikap Partai Golkar berubah atau malah masih berharap duet SBY – JK atau koalisasi Partai Demokrat – Partai Golkar berlanjut, dampak politisnya akan sangat merugikan Partai Golkar di Pilpres 2009.

Partai Golkar justru sudah saatnya perlu mulai mempertimbangkan untuk meminang partai lain berkoalisi, khususnya dengan PKS yang sejak lama mengisyaratkan kesiapannya berkoalisi dengan Partai Golkar. Bahkan, partai ini dalam berbagai kesempatan tak canggung menyatakan, lebih sreg berkoalisi dengan Partai Golkar ketimbang Partai Demokrat di Pilpres 2009 . (***)

Gentleman-lah, Gubsu…!

syamsul1
Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin, SE

 Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin tengah menghadapi batu ujian yang cukup berat pasca unjukrasa anarkis massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang berujung kepada tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat, 3 Februari 2009 lalu.

Eksistensi dan kewibawaannya kini sedang digoyang. Banyak pendapat dan analisis yang mengemuka, kalau salah satu pemicu aksi anarkisme massa Protap di gedung DPRD Sumut itu adalah surat rekomendasi persetujuan pembentukan Protap yang ditandatanganinya selaku Gubsu, semakin kuat memojokkannya.

Surat Keputusan Gubsu No. 130/3422/K tahun 2008, tertanggal 26 Desember 2008 tentang Persetujuan Pembentukan Protap pemberian bantuan, penyelenggaraan, penetapan calon lokasi ibukota Protap, dan wilayah kabupaten dan kota Protap itu, dianggap banyak pihak merupakan sebuah tindakan ceroboh seorang Gubsu bernama Syamsul Arifin.

Anggapan itu patut dimaklumi, karena di masa kepemimpinan dua Gubsu sebelum Syamsul, yakni HT Rizal Nurdin dan Rudolf Pardede,  tuntutan pembentukan Protap yang dinilai sarat menyimpan potensi konflik sosial tersebut, sangat disikapi hati-hati dan tidak gegabah oleh keduanya.

Sikap penolakan kedua Gubsu tersebut, juga didasarkan pada kajian-kajian ilmiah yang sulit terbantahkan pihak manapun. Kemudian, karena jalinan koordinasi kedua Gubsu itu sangat baik ke DPRD SU, sikap penolakan atas terbetuknya Protap ini juga mendapat dukungan politis yang cukup kuat dari DPRD SU.

Namun berbeda dengan Syamsul Arifin yang justru memberikan rekomendasi persetujuan pembentukan Protap tanpa mengkoordinasikannya dengan DPRD. Lebih aneh lagi, dasar-dasar atas pemberian rekomendasi persetujuan itu juga tidak ditempuh melalui cara-cara yang lazim.

Karenanya, Syamsul pun kini harus siap menanggung konsekuensi— menghadapi berbagai kritikan, gugatan, bahkan cacian dari berbagai kalangan masyarakat yang sangat menyayangkan terbitnya surat rekomendasi pembentukan Protap itu.

Sebagai pemimpin yang baik, Gubsu Syamsul Arifin tidak selayaknya melimpahkan kesalahan kepada para bawahannya atas terbitnya SK rekomendasi Protap yang telah ditandatanganinya. Syamsul Arifin juga harus siap mempertanggungjawabkannya, baik secara moral, politis, bahkan hukum sekalipun.

Menyalahkan staf bukanlah tipe seorang pemimpin pengambil kebijakan yang baik. Secara administratif, mungkin staf Gubsu itu salah. Namun, secara politis, keputusan politik tetap ada pada Syamsul Arifin sebagai pengambil kebijakan sewaktu akan menandatangani rekomendasi Protap.

Syamsul harus terbuka dan gentleman mengakui kepada masyarakat, bahwa ada kesalahan dalam rekomendasi Protap yang ditandatanganinya dan itu menjadi tanggungjawabnya. Jika itu dilakukannya dengan diikuti  langkah-langkah perbaikan internal  dan gaya kepemimpinannya, maka itu akan lebih menjernihkan persoalan dan melegakan publik.(**)

 

 

 

 

PD Benar-benar ‘Pede’

pd1

(Okezone/Abror Rizki)

Di menjelang berakhirnya duet SBY-JK, Partai Demokrat semakin menunjukkan ‘keakuannya’. Sampai-sampai ‘teman’ yang selama empat tahun belakangan ini seiring sejalanpun tak lagi dianggap.

Begitu pede-nya Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Ahmad Mubarok mengatakan kalau di Pemilu legislatif  Partai Golkar hanya akan meraih 2,5 % suara, PKS 20 %. Sedang PD  optimis meraih 20 % suara.

Meski angka itu hanya sebatas perkiraan Mubarok, tapi secara politis, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum PD, apa yang disampaikan Mubarok itu mengisyarakatkan kalau di Pilpres 2009, PD  akan ‘pindah ke lain hati’ mencari Capwares bukan dari Partai Golkar untuk menjadi pendamping SBY sebagai Capres.  
 
Susilo Bambang Yudhono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina PD, dalam pernyataan klarifikasinya atas pernyataan Mubarok, memang tidak mampu menutupi rasa kecewanya. Sebab, pernyataan Mubarok itu, cukup  ‘mengganggu harmoni’ hubungannya dengan JK (Jusuf Kalla).

Pernyataan Mubarok itu dapat membuat impian SBY-JK untuk menutup masa kepemimpinan keduanya yang hanya tinggal menghitung bulan sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan kesan yang manis, bisa terancam sirna.

Sebagai Ketua Umum Partai Golkar sekaligus sebagai wakil presiden, sangat wajar jika Jusuf Kalla (JK) tersinggung dengan pernyataan Mubarok yang  terlalu pede  mungkin akibat pengaruh berbagai hasil survei  Lembaga Survei Indonesia belakangan ini yang selalu menempatkan PD sebagai pemenang Pemilu 2009.

Namun di internal Partai Golkar sendiri sikap politik Golkar hingga kini belum jelas menyikapi Pilpres 2009. Saat ini ada  dua wacana besar yang menggelinding, yaitu tetap menjadikan JK sebagai Cawapres dari Golkar mendampingi SBY; atau wacana kedua, Golkar sebagai partai terbesar harus berani menentukan Capres sendiri.

Sayangnya JK  selaku Ketua Umum, dinilai kebanyakan kalangan elit Partai Golkar, cenderung bukan tipikal pemimpin yang suka berspekulasi politik untuk menjadi Capres. JK malah terkesan puas dengan apa yang diperoleh dari koalisasi PD dan Partai Golkar selama ini.

Padahal tidak sedikit analisis internal dan eksternal Golkar yang menduga, jika PD menjadi pemenang dalam Pemilu legislatif mendatang, SBY mungkin akan say god bye  kepada JK dan Partai Golkar. Dan dugaan itu semakin mendekati kebenaran dengan munculnya warning seperti yang disampaikan Mubarok.

Tapi PD jangan lupa. Partai Golkar tidak boleh diremehkan. Sebagai partai tertua di negeri ini, Partai Golkar sarat pengalaman dan sangat matang berpolitik. Pengalaman ketika Pemilu di era transisi reformasi patut dijadikan pelajaran semua elit-elit Parpol lainnya di negeri ini.

Partai Golkar sempat menjadi muara caci maki  rakyat dan dituntut bubar  karena dianggap ‘biang kebangkrutan negara’ akibat rezim Orde Baru berkuasa. Partai itu diprediksi anjlok di Pemilu 1999 dan 2004. Namun dugaan itu salah besar. Justru Golkar tampil gemilang menjadi pemenang. Meski akhirnya saat ini kader terbaiknya cuma jadi orang nomor dua di Negara ini.   

SBY pun sepertinya sangat menyadari potensi besar Golkar. Dalam konferensi pers yang dilakukannya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY mengisyaratkan kalau sebenarnya PD yang takut ditinggalkan Partai Golkar. Apalagi Golkar sudah membuktikan kesetiaannya menopang stabilitas pemerintahannya.

Pernyataan  Mubarok yang meremehkan itu, semakin menambah deretan panjang kekecewaan Golkar terhadap PD. Sebelumnya, Golkar juga dikecewakan lewat iklan-iklan PD yang selalu mengklaim program-progarm yang dibuat pemerintah selama empat tahun lebih  ini adalah hasil kerja PD.

Namun itulah politik. Tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Semuanya bisa berubah. Siapapun Presiden dan Wapres mendatang, semuanya akan ditentukan dari hasil perolehan suara Pemilu legislatif 9 April 2009. (**)

Protap Mengintervensi Kapolri

kapolri4

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. (Inilah.Com/Bayu Sutha)

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri agaknya kini menghadapi tekanan politis terkait penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat

Dia merasa bahwa institusinya kini tengah diintevensi dalam penanganan kasus unjukrasa anarkis yang turut mencoreng citra kepolisian itu, termasuk soal keputusan pihaknya mencopot Kapoltabes Medan dan Kapolda Sumut.

Dalam rapat dengar pendapat yang dilakukan di Komisi III DPR RI di gedung dewan di Senayan, Jakarta, Senin (9/2), Kapolri menghadapi berbagai kritikan pedas, termasuk soal pencopotan Kapolda Sumut Irjen Polisi Nanan Sukarna.

Pernyataan Kapolri yang akan mencopot Nanan Sukarna ternyata ditanggapi kontra oleh banyak kalangan dewan di Komisi III DPR RI. Umumnya, para anggota dewan berpendapat, kebijakan Kapolri mencopot Nanan, sebagai keputusan yang tidak arif dan cermat menyikapi persoalan.

Sebab, menurut para anggota dewan tersebut, pencopotan Nanan sebagai Kapoldasu, dinilai bukan persoalan substansial untuk menyelesaikan penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung Protap yang menewaskan Ketua DPRD Sumut.

Kapolri seharusnya menurut kalangan dewan, memberi kesempatan kepada Nanan untuk menuntaskan penanganan kasus unjukrasa anarkis massa pendukung Protap tersebut sampai ke akar-akarnya.

Di masyarakat Sumut sendiri, memang sejak dua hari pasca unjukrasa anarkis yang menyulut ‘kemarahan’ masyarakat itu, terlihat semacam gejala perubahan sikap. Sasaran ‘amarah’ yang bermuara tuntutan agar Nanan Sukarna selaku Kapolda Sumut dicopot, belakangan ini ada gejala melunak.

Bahkan, sejumlah tokoh maupun kelompok yang sebelumnya paling keras meminta Kapolri mencopot Nanan, berbalik 180 derajat meminta agar Kapolri mempertahankan Nanan sebagai Kapolda Sumut. Apakah ini sebuah fenomena adanya kearifan masyarakat di Sumut melihat akar persoalan di balik aksi anarkis massa pendukung Protap?

Entahlah. Namun faktanya, usia Nanan menjabat “Toba-1” (Kapolda Sumut-red) memang baru seumur jagung. Namun dalam kurun waktu tersebut, banyak perubahan fundamen yang dilakukannya di internal kepolisian yang dipimpinnya.

Pembenahan sampai upaya ‘bersih-bersih’ di internalnya, harus diakui masyarakat Sumut memang menunjukkan adanya perubahan besar dari sikap maupun mental prilaku aparat kepolisian dalam melayani masyarakat maupun menangani kasus-kasus pelanggaran hukum di daerah ini.

Perubahan signifikan yang cukup menonjol juga terlihat dari semakin membaiknya sikap dan mental prilaku aparat kepolisian lalu lintas yang kini mulai ‘takut’ menerima upeti dari masyarakat. Apalagi sejak Nanan membuka layanan kontak langsung yang bisa diakses masyarakat 24 jam.

Menurut banyak pihak, dalam kasus unjukrasa anarkis massa Protap kemarin, Kapoldasu menjadi ‘korban’ dari ketidakbecusan jajaran di bawahnya. Bahkan, lebih mengagetkan lagi, ada yang menduga unjukrasa anarkis di gedung dewan tersebut, merupakan bagian dari skenario oknum-oknum di internal kepolisian yang selama ini terganggu ‘lahannya’ sejak kehadiran Nanan.

Namun Kapolri sepertinya ‘keukeh’ untuk mencopot Nanan dari Kapolda Sumut. Belum jelas siapa penggantinya, namun kuat dugaan adalah salah seorang Direktur di Bareskrim Mabes Polri yang pernah menjadi Kapoltabes Medan. Sikap ‘keukeh’ Kapolri ini tentu patut dipuji dan didukung semua pihak. Kapolri memang tidak boleh kalah oleh intervensi siapapun. Kapolri harus berdiri di atas pijakan keyakinan dan professionalisme Polri.

Namun, apakah dengan bergantinya Kapolda Sumut kelak, akan membawa dampak perubahan lebih baik di internal Polda Sumut dan masyarakat Sumut? Tentu ini masih perlu dipertanyakan.

Paling tidak, Kapolda Sumut mendatang, harus melakukan berbagai perubahan dan pembenahan seperti yang dilakukan Nanan selama ini. Bukan malah membawa kemunduran seperti di masa lalu saat aparat kepolisian di daerah ini masih ‘bermental korup’.

Kalau itu yang terjadi, berarti tidak tertutup kemungkinan sinyalemen berbagai kalangan yang menyebutkan bahwa pencopotan Nanan ini merupakan bagian skenario oknum-oknum di internal Polda yang tidak senang dengan Nanan adalah benar adanya. (*)

“Democrazy” Protap

ketua-dipukuli

Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat (berpeci) memperlihatkan mimik terkena kepalan tinju tangan kiri bergelang dari seseorang massa pendukung Protap yang tidak terlihat pelakunya. Foto: Waspada/Surya Efendi

Anarkisme yang dipertontonkan massa pendukung Provinsi Tapanuli (Protap) hingga menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat, kemarin, akan menjadi catatan hitam sejarah dari sebuah perjalanan hidup berdemokrasi anak bangsa di tanah air khususnya Sumatera Utara.

Unjuk rasa massa Protap yang anarkis jelas bukan sebuah perilaku demokrasi yang dewasa. Tapi sebuah sikap pemaksaan kehendak yang sangat-sangat mencederai arti hidup berdemokrasi.   Anarkisme dari pemaksaan kehendak yang tidak saja disertai intimidasi dan pengrusakan itu, juga merenggut jatuhnya korban jiwa.

Yang membuat miris adalah, korban anarkisme massa tersebut justru seorang anak manusia, putra terbaik Sumatera Utara yang sepatutnya dihormati.  Bukan karena semata-mata jabatan yang disandangnya, tapi dihormati atas nilai-nilai demokrasi,terlebih atas nilai-nilai kemanusiaan.

rusuh-dprd1

Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat (baju kaos putih) dipapah sebelum meninggal dunia saat berlangsung aksi massa pendukung Protap, Selasa (3/2). Foto: Detikcom

Melihat dan menelaah apa yang terjadi dalam insiden di gedung dewan, kemarin,  maka sesungguhnya tindakan massa pendukung Protap, bukan saja telah mencederai makna hidup berdemokrasi, tapi juga mempertontonkan sebuah pertunjukan demokrasi yang sangat “democrazy”. 

Itu benar-benar sebuah pertujukan “demokrasi gila” yang sangat tidak menghibur, apalagi mendidik.  “Democrazy” sepatutnya tidak dianut oleh orang-orang ‘waras’– yang punya cara pandang jauh ke depan. Orang-orag yang mengedepankan kesantunan dan selalu menjunjung semangat musyawarah mufakat  sebagai bagian dari nilai-nilai luhur yang semestinya dianut setiap anak bangsa di negeri ini.

Padahal, parodi politik “democrazy” yang ditayangkan sebuah televisi swasta itu sajapun sama sekali jauh dari kesan “kegilaan”. Justru sebaliknya, “democrazy” yang dipertunjukkan adalah  nilai-nilai pembelajaran demokrasi yang menghibur dan mendidik.

Sikap pemaksaan kehendak yang dilakukan massa pendukung Protap kemarin, merupakan sesuatu yang sangat disesalkan. Sesungguhnya, anarkisme yang mereka lakukan, justru akan menjadi boomerang bagi perjuangan mereka. Dus, ‘kerugian besar’ bagi kelompok elitis yang ambisius terealisasinya provinsi baru  pemekaran Provinsi Sumatera Utara itu.  

Perilaku yang mereka pertunjukkan di gedung dewan kemarin, bukan melahirkan simpati bagi perjuangan pembentukan Protap, tapi memperbesar jurang antipati dari kelompok-kelompok yang menolak Protap.

Anarkisme massa Protap di gedung dewan, membuat mereka mundur jauh ke belakang. Meski tidak serta merta padam, tapi perjuangan mereka akan menemui jalan yang gelap dan semakin terjal.(*)

Protap dan Keberingasan Massa

dikeroyok2

MEDAN, 3/2 - EVAKUASI. Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat (berpeci) ketika dievakuasi menyusul kekerasan dalam aksi demo pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di Gedung DPRD Sumut, Selasa (3/2). Ketua DPRD Sumut akhirnya meninggal dunia setelah dilarikan ke Rumah Sakit Gleni Internasional Medan. FOTO ANTARA/Irsan Mulyadi

Sontak seolah tak percaya dengan kabar duka, Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat, mendadak meninggal dunia. Bukan karena sakit atau celaka. Tapi karena dihakimi massa demonstran pendukung Protap (Provinsi Tapanuli), Selasa (3/2).

Dia ambruk setelah dipukuli dan didorong massa yang beringas. Dia sempat diamankan ke ruang Fraksi Partai Golkar. Namun di ruangan itu diduga Aziz menghembuskan nafas terakhirnya sebelum jasadnya dilarikan ke Rumah Sakit Gleni di Jalan Listrik yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung DPRD Sumut.

Kematian Aziz yang baru sekitar dua bulan menggantikan Abdul Wahab Dalimunthe, merupakan antiklimaks masalah pembentukan Protap yang sejak dua tahun ini terus diperdebatkan. Sudah tak terhitung kerugian materil dan moril akibat perdebatan yang tak juga berujung ini.

Tindakan kekerasan dilakukan massa pendukung Protap semestinya tidak boleh terjadi, apalagi terhadap seorang ketua  lembaga  wakil rakyat dan terjadi di rumah rakyat.

Tentu saja ini insiden yang sangat di luar dugaan, disesalkan, sekaligus memilukan. Tak hanya bagi masyarakat yang kontra terhadap Protap, bahkan mungkin juga bagi para tokoh dan pendukung Protap sendiri.

Kita berharap, insiden yang ‘menumbalkan’ nyawa Ketua DPRD Sumut ini, bukan merupakan bagian dari sebuah skenario aksi massa pendukung Protap. Karenanya tugas polisi  mengungkap tuntas motif di balik insiden yang menelan korban jiwa ini.

Apapun penyebab kematian Aziz, keberingasan massa demonstran  pendukung Protap di gedung wakil rakyat, merupakan tindakan yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi dan makna kebebasan berpendapat.

Keberingasan massa demonstran pendukung Protap yang melakukan pemaksaan kehendak, sudah termasuk dalam ranah perbuatan pidana yang tak boleh dibiarkan dan ditolerir. Aparat penegak hukum, terutama kepolisian harus segera bertindak. 

Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah mendapat kabar ini, melalui Mendagri Mardiyanto telah memerintahkan Kapolri segera mengusut serius insiden dan menindak tegas secara hukum semua pelaku melakukan pemukulan sehingga Ketua DPRD Sumut meninggal.

Tewasnya Ketua DPRD Sumut Aziz Angkat juga merupakan cermin kegagalan polisi melindungi anggota perlemen. Kapoltabes Medan maupun Kapolda Sumut harus bertanggungjawab dan segera menebus kegagalannya itu dengan secepatnya mengusut dan menangkap semua pelaku yang terlibat dalam insiden yang memakan korban jiwa ini.

Polisi juga harus mengungkap siapa dalang intelektual di balik keberingasan demonstran pendukung Protap di DPRD Sumut kemarin. Sebab, sangat kecil kemungkinan aksi massa tersebut berdiri sendiri dan spontanitas, tanpa dikoordinir atau didalangi aktor-aktor intelektual.

Pemerintah dan semua pihak termasuk partai-partai politik hendaknya juga segera mengambil langkah-langkah konkrit agar insiden ini tidak merembes dan menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang dapat mengancam suasana kondusif yang selama ini terpelihara di Sumut.

Semua pihak hendaknya dapat mengambil hikmah atas insiden yang menewaskan Ketua DPRD Sumut ini. Dus, secara arif dan bijak, menjadikan hal ini sebagai pelajaran pahit tentang bagaimana seharusnya hidup berdemokrasi yang mengedepankan semangat persatuan, persaudaraan, dan kekeluargaan. *

Penting Gak Sih Kode Etik Blogger?

hackerIni dia yang masih jadi perdebatan dan sampai kini terus menggelitik pemikiran saya. Bicara penting atau tidak penting, berarti kita harus tahu dulu apa itu kode etik.

Terdiri atas dua suku kata; kode dan etik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kode memiliki tiga pengertian. Pertama, tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu (untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah, dsb). Kedua, kumpulan peraturan yang bersistem. Ketiga, kumpulan prinsip yang bersistem.

Etik, bisa berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, bisa juga berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedang Kode etik artinya norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.

Itu berarti, kode etik sifatnya hanya mengikat kelompok tertentu saja dan tidak berlaku bagi kelompok lain. Sebagaimana kode etik jurnalistik, hanya berlaku bagi wartawan. Kode etik dokter, hanya berlaku bagi dokter. Demikian juga kode etik pengacara, kode etik profesi atau komunitas-komunitas lainnya.

Sederhananya menurut saya, Kode Etik Blogger berarti norma-norma yang disepakati blogger sebagai landasan tingkah laku ngeblog di internet. Dalam bayangan saya, kalau ada blogger yang melanggar kode etik, berarti harus ada sanksi.

Pertanyaannya adalah, benar gak sih kode etik blogger itu penting?

Dari pengamatan saya, jawaban atas pertanyaan ini beragam. Sebagian bilang tidak, sebagian lagi bilang penting. Bagi blogger yang mengatakan tidak penting, mungkin beranggapan, untuk apa membuat aturan-aturan yang justru mempersulit atau mengekang diri sendiri untuk berekspresi. Toh selama ini tanpa kode etik pun, semua berjalan normal dan wajar-wajar saja.

Bagi blogger yang mengatakan penting, mungkin beranggapan, dengan adanya kode etik akan memperkecil peluang blogger yang hanya ingin menjadikan media blog sebagai sarana untuk ‘main-main’, ‘menyampah’, atau bahkan membuat kekacauan.

Ada pula kelompok ketiga, blogger yang ‘cuek’. Pada kelompok ini ada atau tidak ada kode etik blogger, bagi mereka no problem alias gak ngaruh, pokoknya ngeblog jalan terus.hacker12

Nah, sampai di situ kelihatan kalau di kalangan blogger sendiri belum ada kesepahaman dan belum ada upaya konkrit untuk menggiring para blogger agar sepaham dengan masalah penting atau tidaknya ada kode etik ini.

Kode etik masih sebatas wacana yang menjadi bahan diskusi dan perdebatan, baik di komunitas dunia maya, maupun dunia nyata. Sampai kini belum ada satu kesimpulan perlu atau tidak, penting atau tidak kode etik blogger. Sementara dunia ngeblog, trennya terus berkembang dan sangat dinamis.

Okelah, kita berandai-andai Blogger Indonesia sepakat perlu ada kode etik. Pertanyaannya, siapa yang akan membuat kode etik blogger itu ? Sebab dalam pemikiran saya, mustahil menghasilkan kode etik blogger yang legitimate kalau menyerahkan pembuatan kode etik hanya kepada satu dua orang atau kelompok (blogger) yang kapasitas, kapabilitas, dan kompetensinya tidak jelas.

Padahal kode etik itukan akan menjadi pedoman normatif yang mengatur tata prilaku setiap blogger Indonesia dalam berpendapat/berekpresi melalui blognya.

Tidak mungkin juga masing-masing blogger diminta membuat kode etik, kemudian kode etik itu dikompilasi sedemikian rupa untuk kemudian dibakukan menjadi kode etik.

Ada juga pemikiran, diserahkan saja pembuatan kode etik blogger kepada pemerintah. Apa iya para blogger rela dan siap menerima hasil dan konsekuensinya ? Kayaknya sesuatu yang nggak mungkinlah. Mestinya, karena ini untuk blogger dan yang melaksanakannya juga blogger, yang membuat kode etik ya harusnya blogger, bukan pihak lain.

Seperti wartawan, yang membuat kode etik jurnalistik kan juga wartawan. Hanya saja, wartawan yang mana? Tentunya wartawan yang merepresentasi dari asosiasi-asosiasi terstruktrur yang menaungi si wartawan dan dilegitimasi termasuk oleh pemerintah. Begitu juga kode etik dokter, pengacara, dan sebagainya.

Bicara mengenai asosiasi blogger yang legitimate, itu yang sampai sekarang sepertinya belum ada di Indonesia. Kalau pun ada di beberapa daerah, menurut saya itu baru semacam paguyuban-paguyuban blogger saja.

Kalaupun kode etik dirasa penting untuk segera dibuat, tentunya juga harus ada regulasi dari pemerintah untuk mendorong dibentuknya asosiasi blogger. Sebab, saya pesimis kalau hanya menyerahkan sepenuhnya kepada ‘kesadaran’ blogger untuk membentuk asosiasi yang legitimate.

Dan jangka panjang, tentunya keberadaan asosiasi blogger ini bukan hanya untuk menyukseskan pembuatan kode etik semata. Tapi berfungsi sebagaimana layaknya organisasi yang memiliki peran dan tujuan yang lebih luas lagi bagi kepentingan anggotanya, dalam hal ini blogger tentunya.Nah, kalau saya ditanya, apakah kode etik bagi Blogger Indonesia itu penting ? Saya akan jawab penting, tapi tidak diperlukan. Alasannya, karena sebenarnya, aturan/hukum positif di Negara ini toh sudah ada.

Kasus situs lapotuak.wordpress.com yang sudah dibreidel WordPress gara-gara menghina nabi dan jelas-jelas bernuansa SARA, adalah salah satu contoh kasus bahwa pemerintah sudah menjalankan fungsi pengawasannya. Pembreidelan situs lapotuak.wordpress.com sebenarnya juga tak terlepas dari sikap tanggap pemerintah untuk menindaklanjutinya ke WordPress selaku Host yang berwenang membreidel blog.

Saya sangat apresiatif dengan rencana pemerintah seperti yang dinyatakan Menteri Komunikasi dan Informasi RI Muhammad Nuh ke depannya akan lebih intens memantau blog-blog yang berbau SARA. Ini membuktikan sebenarnya pemerintah punya kuasa untuk mencegah dan ‘menindak’ blog-blog yang berpotensi membahayakan keamanan dan keutuhan Negara.

Malah bila perlu menurut saya, blog-blog yang memancing konflik SARA bukan cuma dibreidel, tapi bloggernya harusnya juga dipidanakan biar kapok dan jadi pembelajaran bagi blogger yang lain.

Tapi satu hal yang harus selalu kita cermati sebagai Blogger Indonesia, jangan sampai kebijakan pemantauan ini nantinya malah menjadi ‘jalan masuk’ bagi pemerintah untuk mengekang kekebasan berpendapat atau berekpresi blogger.

Karenanya, pemerintah pun harusnya membuat batasan yang jelas tentang blog-blog seperti apa yang dipantau dan bisa dijerat dengan ancaman sanksi breidel atau pidana. *(Artikel ini khusus saya dedikasikan buat sahabat saya Mas Wisnoe di http://delenger.wordpress.com).***

 

Penampilan Menipu, Tertipu Penampilan

bahagia1Menilai orang lain hanya dari luarnya, bisa membuat kita tertipu. Apa yang kelihatannya di luar baik dan menyenangkan, belum tentu isi dalamnya juga baik dan menyenangkan. Begitu pula sebaliknya. 

Orang yang kelihatan tampangnya simpatik, dandanannya rapi, ramah, tutur bicaranya sopan dan intelek, alim, dan berwibawa, belum tentu orang itu benar-benar punya kepribadian yang baik.

Bisa jadi itu hanyalah topeng untuk menutupi sifat-sifat aslinya yang buruk dan kriminil. Bukan mustahil sebenarnya orang itu adalah manusia super bejat pecinta maksiat yang suka gonta ganti pasangan.

Sebaliknya, belum tentu pula orang yang tampangnya bengis, dandanannya urakan, di lengan ada bekas tato, kesannya tidak ramah dan kasar, pastilah orang itu tidak baik.

Padahal dia itu sebenarnya mantan preman yang dihormati teman dan para tetangganya. Dia adalah suami yang sangat mencintai dan setia pada istrinya. Dia juga seorang ayah yang sangat penyayang dan teladan bagi anak-anaknya.

Kita mengganggap orang kaya yang tinggal di rumah mewah bak ‘istana’, pastilah hidupnya senang dan bahagia. Sementara orang yang tinggalnya di gubuk reot, hidupnya susah dan sengsara.

 

Kenyataannya tidak semua orang kaya hidupnya senang dan bahagia dan tidak setiap orang miskin hidupnya susah dan sengsara.

Adalah betul, dengan kekayaan orang bisa membeli apa saja yang bisa membuat hidup jadi mudah dan menyenangkan. Tapi belum tentu itu jaminan bahagia. Orang miskin tentulah sulit membeli apapun yang diinginkannya. Tapi itu bukan berarti tidak bisa hidup senang dan bahagia.

Banyak orang menganggap tentu menyenangkan dan membahagiakan bila punya istri berparas ayu nan cantik jelita atau punya suami keren, tampan lagi macho.

Namun kenyataannya banyak suami punya istri cantik jelita atau istri yang punya suami tampan namun rumah tangganya tak pernah akur dan akhirnya berantakan.

Sementara sebaliknya, banyak suami atau istri yang pasangannya punya tampang biasa-biasa saja, bahkan jelek, tapi rumah tangganya harmonis hingga ajal menjemput.

Senang, susah, bahagia, sengsara, baik, buruk adalah sesuatu yang tidak bisa diukur hanya dengan melihat dari luarnya saja.  Orang bijak berpesan selalulah mawas diri dan bersyukur.

Karena sikap mawas diri akan menuntun manusia menjadi orang yang selalu berbaik sangka, tidak gegabah, dan teliti terhadap sesuatu. Itu yang akan membuat manusia menjadi lebih bijak dalam menilai dan melakukan sesuatu dalam hidupnya.

Sedang bersyukur akan membuat hati menjadi tenang dan tenteram. Karena orang yang selalu bersyukur adalah orang yang merasa hidupnya serba bercukupan dan lebih beruntung dari orang-orang yang bernasib kurang baik.***

 

 

 

 

Kado Untuk Sang Guru

 

mengajarDua hari menjelang Hari Guru tanggal 25 November lalu, anak saya yang baru duduk di bangku kelas I SD meminta agar dibelikan ‘sesuatu barang’  untuk diberikan kepada guru kelasnya yang baru saja melahirkan anak pertama sebagai kado di Hari Guru.

Menurut pengakuan anak saya, mereka sekelas, bahkan seluruh murid dari kelas I sampai VI diminta salah seorang guru untuk menyampaikan pesan kepada orang tua masing-masing agar pada saat Hari Guru, ‘seikhlasnya’ memberikan ’kado’ berupa apa saja kepada guru-gurunya terutama guru kelasnya.

Bagi saya dan istri saya, permintaan guru tersebut tidaklah memberatkan dan tidak ada yang aneh. Menurut saya ‘permintaan’ yang lebih pas disebut sebagai ‘anjuran’ itu sah-sah saja. Mungkin itulah cara guru-guru di sekolah itu mendidik murid-muridnya agar menghargai dan mencintai guru-gurunya.

Istri saya yang kebetulan juga berprofesi guru, tanpa banyak tanya langsung mengiyakan permintaan si anak. Saya pun maklum saja karena mungkin dorongan empatinya yang tinggi terhadap sesama profesi guru meski beda sekolah.

Hari itu juga anak saya dibawa ke sebuah toko swalayan yang tak jauh dari rumah kemudian membelikan seperangkat perlengkapan popok bayi untuk nantinya diberikan kepada sang guru kelas anak saya sebagai  kado di Hari Guru. Tentu saja sebelum diberikan, kado itu dikemas rapi dengan kertas dan pita yang menarik.

Di hari yang sama, seorang ibu mengeluh karena anaknya yang duduk di bangku kelas V di SD yang berbeda dengan anak saya, terus ‘merengek’ minta dibuatkan ‘kue tar’. Katanya, kue tersebut akan diberikan kepada guru-gurunya pada saat Hari Guru sesuai ‘permintaan khusus’ guru kelasnya.

Padahal menurut ibu tersebut, sekitar tiga minggu lalu pihak sekolah telah mengutip uang sebesar Rp.15 ribu per murid dari kelas I sampai VI. Uang tersebut katanya untuk membeli bakal baju batik sebagai ‘hadiah’ dari murid yang akan dipakai seluruh guru di sekolah anaknya saat Hari Guru tiba.

Si ibu sebenarnya keberatan dengan pengutipan uang tersebut. Sebab menurutnya kebijakan pihak sekolah meminta ‘hadiah’ tapi kesannya ‘memaksa’ adalah sesuatu yang aneh dan sangat tidak bijak.

Sebagai orang tua murid, si ibu merasa adanya surat dari pimpinan sekolah yang disetujui dan ditandatangani Ketua Komite Sekolah, telah memaksanya untuk suka atau tidak suka, wajib memenuhi permintaan kutipan uang tersebut.

Hatinya sebenarnya berontak, tapi dia tak kuasa untuk menentang kebijakan sekolah yang menurutnya sepihak itu. Dia juga tak habis pikir, kenapa Komite Sekolah yang katanya perwakilan dari para orang tua murid, tidak punya empati terhadap sesama orang tua murid seperti dirinya.   

Nah, kemarin malam, istri saya dengan wajah sumringah menunjukkan sebuah tas plastik kresek hitam yang katanya berisi hadiah dari siswa-siswanya yang diterimanya hari itu sebagai kado di Hari Guru.

Tetapi saat seluruh isi tas plastik hitam tersebut dikeluarkan, saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. Karena ternyata isinya macam-macam; ada sabun cuci, sabun mandi, odol, sikat gigi,   buku agama, pulpen, dan beberapa buah bross, dan dua helai jilbab.

Adapula beberapa mainan anak-anak. Tentu saja hadiah berupa mainan ini bukan untuk istri saya, tapi untuk anak saya laki-laki yang paling kecil. Anak laki-laki saya tersebut memang sesekali diajak istri saya ke sekolah bila jadwal mengajarnya tidak terlalu ketat atau saat ada kegiatan, tapi tak ada jadwal mengajar di sekolahnya.

Sebenarnya kado yang diterima istri saya di Hari Guru bukan baru pertama kali ini, tapi sejak dia menjadi guru beberapa tahun silam. Bukan cuma istri saya, semua guru di sekolahnya, bahkan barangkali di hampir semua sekolah mulai SD hingga SMU atau sederajat mendapat ‘kado’ dari anak-anak didiknya di Hari Guru.

Menurut istri saya, semua hadiah yang diterimanya hari itu bukan dia minta. Tapi sudah seperti ‘tradisi’ di sekolahnya setiap merayakan Hari Guru. Dan menurutnya, tidak semua anak didik di sekolahnya memberi hadiah kepada guru-gurunya, karena pihak sekolah pun tak pernah menganjurkan, apalagi mewajibkannya.

Bukan bermaksud mengecilkan, sebenarnya, bukan kado seperti itu yang diinginkan para  guru kita terlebih seperti istri saya yang berpenghasilan tak seberapa karena cuma guru sekolah swasta. Mereka  hanya mengharapkan ‘kado istimewa’ itu dari pemerintah berupa perhatian lebih untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Sehingga kelangsungan nasib mereka ke depan, meski tak harus menjadi seorang guru berstatus PNS, bisa lebih baik dan terjamin. “Pak Guru, Bu Guru…Selamat Hari Guru…”.***  

 

 

 

Memburu Status PNS

cpns3Beberapa hari ini ada pemandangan tidak biasa terlihat di kantor Departemen Agama, kantor pos, dan kantor-kantor pemerintah di kabupaten/kota. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang  terlihat antri berdesak-desakan, tergencet, dan berpeluh hingga berjam-jam di kantor-kantor itu untuk mengantarkan satu map berisi berkas lamaran menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Ya, mereka memang para pencari kerja yang ingin mengadu peruntungan menjadi CPNS pada tahun 2008 ini. Beberapa hari lalu departemen agama, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di tempat saya di Sumatera Utara mengumumkan, November-Desember 2008 ini akan merekrut ribuan CPNS baru.

Di lingkungan Kanwil Departemen Agama Sumatera Utara misalnya, tahun ini mayoritas formasi yang disediakan bagi pelamar CPNS adalah guru (agama dan umum) dan tenaga teknis (penyuluh, KUA, administrasi, komputer, dan sebagainya).

Begitu juga dengan formasi  yang disediakan bagi pelamar CPNS untuk Pemprov maupun Pemkab/Pemko di Sumatera Utara, juga masih didominasi untuk pelamar guru dan tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan perawat), di samping tenaga teknis lainnya.

Nah, mengenai masalah persyaratan, banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Persyaratan yang dibebankan kepada para pelamar, kali ini relatif lebih praktis dan tidak menjelimet.

Pelamar hanya diwajibkan membuat surat lamaran dengan melampirkan foto copy ijazah, transkrip nilai + akta IV (bagi pelamar guru),  foto copy KTP, dan pas foto hitam putih dua lembar.

Coba bandingkan dengan  syarat yang dibuat pada tahun-tahun lalu; pelamar wajib membuat surat lamaran dengan melampirkan foto copy KTP, foto copy ijazah / + akta IV (bagi pelamar guru), SKBB/SKCK dari Poltabes/Polresta, Surat Keterangan Pencari Kerja dari Disnaker (Kartu Kuning), Surat Keterangan Sehat  dari Puskesmas/Rumah Sakit), dan pas foto   hitam putih beberapa lembar.

Persyaratan yang harus dilengkapi pelamar sangat tidak praktis dan menjelimet. Apalagi untuk mendapatkan selembar surat keterangan baik itu SKBB/SKCK, Kartu Kuning, Surat Keterangan Sehat tidak murah. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan ketiga surat itu saja totalnya bisa antara Rp.50.000 hingga Rp.150.000.

Biaya itu belum termasuk untuk membeli materai Rp.6.000, cetak pas foto, meleges ijazah/transkrip/akta IV, transport, parkir, dan lain-lainnya yang tak terduga. Padahal, si pelamar belum tentu lulus ujian menjadi CPNS.

Sungguh mengherankan kenapa tidak dari dulu Depag, Pemprov, Pemko/Pemkab menerapkan persyaratan demikian. Tidak seperti penerimaan CPNS kali ini, semua berkas administrasi baru dilengkapi setelah si pelamar lulus seleksi menjadi CPNS. Itu lebih praktis dan tidak memberatkan pelamar baik dari segi waktu, tenaga, maupun biaya.

lamar-cpns5Lantas, kenapa orang-orang terutama para sarjana kita begitu antusias ingin menjadi PNS ? Menurut saya jawabannya sangat sederhana. Menjadi PNS itu dianggap enak karena selain kerjanya tidak begitu berat, ada jaminan penghasilan, tunjangan ini itu, fasilitas, hingga jaminan  hari tua.

Adalah betul bahwa bila melihat besar penghasilan yang sudah ditetapkan seperti sekarang, tidak bakal membuat kaya, tapi faktanya banyak PNS yang kaya raya terlepas dari bagaimana cara si PNS tersebut mengumpul pundi-pundi kekayaannya.

Satu hal lagi,  pola pikir sebahagian besar masyarakat kita yang menganggap  status PNS adalah ukuran kesuksesan. Status PNS dianggap sebagai status sosial yang terhormat. Apalagi kalau si PNS tersebut mempunyai jabatan penting.

Tidak usahlah kita perdebatkan soal pro kontra pendapat para pakar tentang kenapa para sarjana kita masih orientasinya ingin menjadi PNS. Atau kritikan-kritan tajam ‘segelintir’ orang yang mencemooh dan memandang sinis orang-orang yang ingin melamar jadi CPNS.

Justru menurut saya, agak munafik rasanya bila kita mengatakan kalau kita begitu ‘pede’ mengatakan ogah menjadi PNS.  Karena jangan-jangan, mereka yang mengkritik, mencemooh, dan memandang sinis orang-orang yang ingin mengadu peruntungan jadi CPNS adalah orang-orang yang ‘gagal’ menjadi CPNS/PNS.

Mungkin anda pernah gagal dan masih  berminat jadi PNS ? Kenapa mesti malu mencoba. Mungkin kita pesimis  perekrutan CPNS berlangsung bersih dan jujur,  tapi paling tidak dengan keterlibatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam proses perekrutan CPNS kali ini memberikan secercah harapan, kalau kali ini prosesnya akan lebih baik dari tahun-tahun lalu. *** 

 

 

 

Preman Yang Cemas

preman

Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu yang ‘mencemaskan’ bagi para preman. Di mana-mana, mereka tengah diburu. Layaknya seperti sampah dan kotoran, para preman ‘disapu’ dan ‘dibersihkan’ dari berbagai tempat terutama jalanan.

 

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri telah menabuh genderang perang terhadap premanisme. Dalam sekejap, ribuan preman terjaring. Jumlahnya bakal terus bertambah karena Operasi Premanisme ini dilakukan tanpa batas waktu.

 

Kesampingkan perdebatan soal defenisi preman dan premanisme. Yang jelas, setiap orang atau kelompok yang dianggap meresahkan masyarakat, mengganggu ketertiban umum, mengancam dan melakukan tindak kekerasan, dicurigai preman, siap-siaplah digaruk. Soal diproses hukum atau tidak, urusannya di kantor kepolisian. 

 

Sebagian preman yang ditangkap, diproses secara hukum. Tapi lebih banyak yang dibebaskan setelah membuat surat pernyataan berjanji tidak akan (lagi) menjadi ‘sampah’ masyarakat.

 

Perang memberantas premanisme kali ini tidak main-main. Kabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Susno Duaji bahkan sudah menginstruksikan tembak di tempat kalau ada preman melawan petugas.

 

Masyarakat diminta melaporkan kalau ada aksi premanisme. Polisi wajib menindaklanjuti laporan warga. Kapolres yang tidak merespon laporan warga dan tidak mengindahkan instruksi Kapolri, kinerjanya dievaluasi, bahkan bisa disebut sebagai bagian dari preman.

 

Sadar kalau dirinya diincar polisi, para preman yang belum sempat tergaruk buru-buru ‘tiarap’. Tempat biasa mangkal untuk sementara ditinggalkan. Sebagian preman terpaksa ‘ngendon’ di rumah sampai operasi premanisme mereda.

 

Ada preman yang takut ketangkul karena tak punya identitas, terpaksa pulang kampung. Ada juga yang mencoba cari pekerjaan lain.

 

Preman berkedok penyedia jasa debt collector, pemalak dan pembeking berkedok Ormas/OKP, hingga preman berdasi yang biasanya menjadi preman terkoordinir, mulai takut-takut menerima ‘order’ dari klien. Malah ada yang langsung membuat pengumuman; “Maaf, untuk sementara waktu tidak menerima order menyediakan preman”.

 

Kemarin siang saat saya menemani istri belanja ke pajak (pasar tradisional) tak jauh dari rumah saya, pedagang ikan langganan istri saya mengatakan kalau hari itu polisi baru saja melakukan razia preman di pajak itu.

 

Ada belasan pria yang ditangkap, beberapa di antaranya memang dikenal preman yang sudah lama meresahkan pedagang.  Sebab, setiap hari oknum-oknum preman berkedok OKP itu memalak pedagang dengan dalih ‘uang keamanan’ atau ‘uang lapak’.

 

Pedagang tak berani menolak karena akibatnya bukan cuma lapak dagangan yang bakal diobrak-abrik, keselamatan pun bisa terancam.

 

Dalam razia, polisi juga menangkap petugas parkir liar yang juga  bagian dari sindikat oknum-oknum preman berkedok OKP itu. Selebihnya  ditangkap karena tak bisa menunjukkan kartu identitas diri.

 

Para pedagang tentu saja gembira dan bersyukur atas penangkapan para preman itu. Selama ini, mereka tak berani melawan preman secara terbuka, karena akan membahayakan keselamatan mereka. Tapi bila didiamkan terus, para preman semakin ngelunjak, jadilah mereka selamanya sapi perahan.

 

Mau mengadukan langsung ke polisi, pedagang mikir dua kali. Iya kalau pengaduannya ditindaklanjuti. Kalau ternyata selama ini polisinya ‘bersubahat’ membekingi para preman pajak itu, bisa-bisa riwayat si pedagang pun, ‘wassalam…’.

 

Sebenarnya, bukan baru kali ini saja para preman di pajak itu kena garuk. Malah beberapa preman ada yang sudah beberapa kali keluar masuk penjara.

 

Itu pula yang membuat para pedagang belum bisa tenang, karena biasanya, setelah dilepas, para preman akan kembali ke habitatnya  dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih parah.

 

Memang sulit memberantas premanisme karena selama ini sanksi atau hukuman yang diberikan aparat penegak hukum  tidak memberikan efek jera. Preman juga kerap berlindung di balik oknum atau pihak-pihak tertentu yang punya pengaruh dan kekuasaan. Sebab preman dan pembeking sama-sama diuntungkan.

 

Sulitnya lapangan kerja juga menjadi penyebab premanisme sulit diberantas. Sebab preman umumnya adalah pengangguran. Mereka memilih jalan pintas dengan melakukan tindakan premanisme karena tidak punya pekerjaan tetap.***

 

 

 

Berbaik Sangkalah Dengan Penghinaan

monkey12Seorang teman pernah menasehati saya seperti ini; kalau kamu berpikir bahwa orang yang mengatakan, “kamu kayak monyet!”, “pantesan kamu kayak kebo!”, “memang kamu iblis!”, dan kalimat sejenisnya, terus kamu mengganggap orang itu telah menghina kamu, itu salah kaprah.

Justru sebaliknya, orang itu sebenarnya masih menghargai kamu karena kamu masih diakuinya sebagai manusia.

Tapi coba kalau kamu dibilang,”kamu seperti manusia!”, nah, itu baru penghinaan dan wajar kalau kamu ‘naik darah’. Kalimat itu jelas-jelas pengingkaran eksistensi kamu sebagai manusia.

Logikanya begini, “kalau saya dikatakan seperti manusia, berarti selama ini saya makhluk apa? Kok enak saja dia menganggap saya bukan manusia”.

Sepintas, kata-kata teman saya itu memang ada benarnya dan masuk akal. Hanya menurut saya salah kaprah, karena kalimat-kalimat seperti itu bukan ‘pengkiasan’ kepada bentuk fisik seseorang, melainkan prilaku seseorang.

Fakta yang sering terjadi, orang yang ‘diserang’ dengan kalimat-kalimat kasar seperti itu, secara fisik justru lebih cantik, lebih ganteng, lebih pintar, lebih alim, lebih bermoral, dari yang ‘menyerang’.

Maka itu, kalimat-kalimat kasar seperti itu lebih pas ditujukan sebagai bentuk ‘kiasan’ (penyamaan) terhadap prilaku manusia seperti binatang, prilaku manusia seperti syetan, atau sebaliknya; prilaku binatang seperti manusia, prilaku syetan seperti manusia (ada yang pernah lihat gak ya…?)

Jadi tak usah heran bila kamu melihat atau mendengar ada orang yang penampilan secara fisik jelek, tapi ‘pede’ mengatakan,”kamu itu kayak monyet!”. Karena dia menilai prilaku kamu mungkin sama dengan monyet; serakah dan rakus.

Atau kamu dikatain, “kayak kebo (kerbau)!”, mungkin teman kamu itu menilai prilaku kamu sama seperti kebo; kerjanya cuma makan dan tidur alias pemalas (padahal kebo yang asli aja bisa disuruh kerja bajak sawah. Masak kalah sama kebo sich…).

Nah, ini mungkin lebih penting dari semua yang sudah diuraikan di atas. Seburuk apapun kata-kata kasar bernada hinaan seseorang kepada kita, hendaknya jangan lantas disikapi negative atau dibalas
dengan penghinaan yang menurut kita lebih hina dari hinaan orang tersebut.

Justru lebih baik kita berbaik sangka sajalah, karena barangkali di balik penghinaannya itu akan menyadarkan kita untuk lebih terpacu berusaha mencapai derajat manusia yang lebih baik atau istilah dalam agama saya menjadi insanul kamil (manusia seutuhnya).

Karena sesungguhnya, manusia yang suka menganggap rendah manusia lain, pada dasarnya dialah manusia yang derajatnya paling rendah, bahkan mungkin menyamai binatang atau iblis. ***

Selamat Tinggal Goyang Ngebor…

Saatnya kita mengucapkan selamat tinggal kepada penyanyi dan penari yang suka goyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji, goyang patah-patah, dan goyang erotis lainnya. Sebab mungkin tak lama lagi mereka itu bakal jadi ‘makhluk langka’ yang tak perlu dilestarikan. Lho, kok ?

Ini karena Kamis tanggal 30 Oktober kemarin, RUU Pornografi akhirnya disahkan juga menjadi undang undang, meski masih menuai kontroversi. Mayoritas fraksi di DPR minus Fraksi PDS dan PDI P menyetujui pengesahan itu.

Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah pun mengatakan setuju. Karena menurutnya, RUU ini nondiskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan agama.
Substansi RUU dirasa tepat dan definisi juga dirasa sangat jelas. RUU ini untuk melindungi masyarakat dan melengkapi UU Perlindungan Anak dan Penyiaran yang telah ada.

Apa hubungannya goyang ngebor ala Inul Daratista, goyang ngecor ala Uut Permatasari, goyang gergaji ala Dewi Persik, dan goyang patah-patah ala Anisa Bahar itu dengan UU Pornografi yang baru disahkan?

Pasti ada hubungannya. Sebab dengan UU ini penyanyi atau penari dengan goyangan-goyangan seronok yang membuat jakun pria ‘naik turun’ nelan liur menahan syahwat itu tak bakalan lagi bisa ‘manggung’ seenaknya di depan umum, termasuk di televisi.

Kalau di radio barangkali bolehlah. Tapi itupun masih harus dilihat lirik lagunya bagaimana. Kalau liriknya ternyata ada bau-bau pornonya seperti lagu “Belah Duren” nya Julia Perez, bukan tidak mungkin kelak juga bisa kena jerat UU ini.

Saya sebenarnya suka musik Dangdut. Bahkan ada puluhan lagu dangdut yang saya hafal menyanyikannya terutama lagu-lagu Dangdut lawas karya Rhoma Irama, Mansyur S, Hamdan ATT, Imam S. Arifin, Meggy Zakaria, Jaja Miharja, Chaca Handika, hingga Ona Sutra

Saya juga tidak munafik untuk mengatakan menyenangi semua jenis lagu yang irama-irama musiknya bisa memancing kaki atau tubuh bergoyang, termasuk lagu-lagu dangdut berirama koplo, cha cha, remix, bahkan house yang konon katanya ‘nikmat’ kalau dengarnya sambil dugem di diskotik atau kafe remang-remang.

Tapi saya sangat anti dengan penyanyi-penyanyi atau penari yang suka bergoyang meliuk-liukkan tubuhnya mengumbar syahwat, terlebih di muka umum. Sikap anti saya, bukan hanya terhadap wanita, tapi juga terhadap penyanyi atau penari pria yang ikut-ikutan meniru tarian erotis itu.

Konsekuensi atas pengesahan UU Pornografi ini tentu saja bukan hanya terhadap penyanyi atau penari dangdut yang suka tampil seronok karena gaya berjogednya atau cara berpakaiannya, tetapi terhadap semua aspek yang termasuk dalam pengertian Pornografi seperti yang dijelaskan di Pasal I UU Pornografi.

Paling tidak, kelak setelah berlakunya UU Pornografi tak ada lagi fenomena ‘Dangdutan’ yang mengumbar syahwat itu. Jika satu aspek ini saja bisa diperbaiki, maka moral dan akhlak bangsa sudah lebih baik dari hari-hari kemarin.***

Apa Salah Syekh Puji?

Dia kaya raya, relatif masih muda, sehat, punya perusahaan besar, punya pondok pesantren, dan dianggap memiliki wawasan agama yang lebih daripada kebanyakan orang awam karena dia juga bergelar syekh. Lantas apa salahnya dia menikah lagi, toh istrinya tidak protes dan agamanya membolehkan?

Tentu sampai di situ tidak ada yang salah dengan Syekh Puji. Tapi menjadi masalah ketika wanita yang dipilihnya sebagai istri keduanya adalah gadis yang masih di bawah umur. Mungkin itu juga belum begitu menjadi masalah serius kalau seandainya saja Pujiono Cahyo Widiyanto bukan seorang figur yang dianggap panutan umat/masyarakat karena dia bergelar syekh dan kyai.

Syekh yang oleh masyarakat Semarang dicap ‘kyai nyentrik’ itu menikahi Lutfiana Ulfa bulan Agustus 2008 lalu. Padahal anak pasangan suami istri Suroso (35) dan Siti Hurairah (33), warga Desa Randugunting, Kecamatan Bergas itu baru saja lulus SD dan berumur 12 tahun.

Kalau saja yang dinikahi Syekh Puji itu adalah Siti Lutfiana anak tetangga saya yang Juni kemarin baru tamat SMA, mungkin persoalannya akan lain alias orang mengganggap tak masalah dengan pernikahan itu.

Atau seandainya Syekh Puji menikah lagi dengan Ulfa Anggraini janda muda beranak dua di komplek tempat tinggal saya dan menikah lagi dengan Lutfiana Ulfa lainnya yang sudah cukup umur, tentu tak ada yang perlu diributkan dia punya istri sampai empat.

Sepanjang yang dinikahi mau, wali atau orang tuanya setuju, aturan syariat dan undang-undang dipatuhi, yang menikahi mampu menafkahi lahir bathin, mampu berlaku adil, whay not punya istri empat ? (Soal beristri empat pasti ada yang gak setuju…hehehe)

Tapi yang lebih membuat orang-orang di seantero negeri meradang, setelah menikahi Lutfiana Ulfa Syekh Puji malah ingin mencari dua gadis lagi yang usianya lebih muda, yakni 9 tahun dan 7 tahun untuk dia jadikan istri ketiga dan keempat.

Terlepas dari apapun niat, motivasi, dan dalil agama yang menjadi rujukan Syekh Puji, menikahi anak di bawah umur jelas merupakan pelanggaran hukum pidana menurut UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak yang sebagiannya tentu mengadopsi ajaran-ajaran agama.

Saya tidak yakin agama saya yang diturunkan dari ‘langit’ dan begitu mulia menjunjung tinggi harkat martabat serta fitrah manusia, ada ajarannya yang seolah ‘berlawanan’ dengan aturan produk manusia yang dianggap lebih manusiawi. Ini pasti ada kesalahan dari penafsiran suatu ajaran tentang pernikahan itu.

Kalau memang menurut pandangan kesehatan maupun psikologis, menikahi gadis di bawah umur lebih banyak mudharatnya, kenapa para ulama di tanah air kita tidak berani tegas memfatwakan haram?

Kasus Syekh Puji ini harus menjadi “PR” serius bagi para ulama terutama melalui wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera menyikapinya. Mungkin perlu ada fatwa-fatwa baru untuk menyikapi kasus-kasus kontemporer semisal pernikahan Syekh Puji ini agar umat tidak semakin bingung.***

Di sinilah “Surga” Blogger

Rasanya tak berlebihan jika banyak kalangan termasuk saya, bahkan mungkin anda sepakat mengatakan, saat ini Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh berkembangnya blogger, bahkan menjadi “surga” bagi blogger. Pendapat ini bukan tanpa alasan. Tengoklah isi situs-situs milik blogger Indonesia, semuanya mengekspresikan kebebasan.

Barangkali, tak banyak negara yang kebebasan berekspresi bloggernya sebebas blogger di Indonesia. Bahkan dengan Amerika Serikat yang mengklaim negaranya paling menjunjung tinggi HAM, demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat sekalipun.

Saya beruntung bisa menjadi blogger Indonesia yang nasibnya tidak seperti blogger di China atau beberapa negara lainnya yang tidak setiap orang bisa dengan mudah menciptakan atau memiliki blog ‘tanpa seizin’ dan pengawasan pemerintahnya.

Meski tidak ada keharusan mencantumkan identitas asli di blog, tapi saya bukan tipe blogger pengecut yang suka menyembunyikan identitas, karena blog saya bukan untuk ‘nyampah’ di internet, apalagi untuk tujuan-tujuan tidak baik.

Maka itu saya tidak setuju dengan pernyataan penyanyi pentolan grup band “Dewa” Ahmad Dhani yang menyebut dunia blogger sebagai dunia orang-orang pengecut, atau pernyataan pakar telematika Indonesia Roy Suryo yang menyebut blogger sebagai ‘penipu’ hanya karena mereka jengah dengan satu dua blogger yang membuat mereka tak nyaman.

Bilai dikaitkan dengan kebebasan berekspresi tadi, saya mencermati ada kecenderungan para blogger Indonesia tak merasa bersalah dan khawatir bakal menghadapi masalah karena memposting artikel, gambar, foto, video, dan apa saja di blognya meski postingan-postingan itu hanyalah kebohongan, pornografi, maupun hasil copy paste tanpa izin.

Para blogger Indonesia seolah tak takut ditangkap polisi atau agen rahasia negara gara-gara memposting artikel mengkritik dan mencaci maki pemerintahnya, bahkan ‘menyerukan perlawanan’ karena pemerintahnya dianggap tak becus ngurus rakyat dan paling korup di dunia.

Para blogger Indonesia juga terkesan tak takut dijerat hukum atau diculik kelompok tertentu gara-gara memposting artikel, video, atau gambar bernuansa SARA yang isinya mengkritik, ‘menjelek-jelekkan’, bahkan menghasut suatu agama maupun etnis tertentu.

Di banyak negara seperti Malaysia, China, Myanmar, Iran, Arab Saudi, Mesir, Inggris, Prancis, Kanada, bahkan Amerika Serikat, blogger tidak bisa lagi berekspresi sebebas di Indonesia. Itu ditandai dengan semakin diperketatnya pengawasan terhadap situs-situs dan banyaknya blogger yang ditangkap gara-gara postingan-postingan artikel di blognya dianggap ‘membahayakan’ keamanan dalam negeri di negaranya.

Masih ingat kisah tentang sejumlah blogger terkenal di Malaysia yang ditangkap polisi di negara itu belum lama ini? Ada Syed Azidi Syed Aziz pemilik situs Malaysia Today yang di dunia maya namanya lebih dikenal dengan Sheikh Kickdefella. Ada pula Raja Petra Kamaruddin dan Teresa Kok.

Mereka ditangkap gara-gara memposting artikel-artikel yang dianggap menghujat pemerintah dan menyebarkan kebencian antar ras. Ketiganya dijerat dengan Undang Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), sehingga Pemerintah Malaysia menahan mereka sampai batas waktu yang tidak ditentukan tanpa harus melalui proses pengadilan.

Atau seperti nasib Fouad al-Farhan bloger Arab Saudi yang ditangkap gara-gara memposting artikel yang dianggap menghina kerajaan Arab Saudi di situs pribadinya, sehingga kasus itu sempat menuai protes dari pemerintah dan warga Amerika Serikat.

Di beberapa situs sempat saya baca, ada puluhan kasus penangkapan blogger yang terjadi sejak tahun 2003 sampai saat ini. Uniknya, kebanyakan blogger yang ditangkap rata-rata terkait dengan artikel-artikel yang mengkritik dan ‘membuka aib’ pemerintahnya seperti korupsi dan pelanggaran HAM.

Untunglah di Indonesia Undang Undang Subversib sudah lama lenyap, sehingga pemerintah sekarang tidak bisa lagi seperti pemerintah Orde Baru yang semena-mena dan seenaknya menangkap dan menjebloskan ke penjara siapa saja yang dianggap membangkang pemerintah maupun mengancam keamanan negara karena karya-karyanya.

Saya tak bisa membayangkan seandainya para blogger Indonesia saat ini hidup pada era rezim Orde Baru. Barangkali akan tak terhitung jumlah blogger yang ditangkap lalu dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan dan situsnya diberangus karena artikel-artikelnya ‘tanpa sensor’ menghujat dan mencaci maki pemerintah atau memancing kebencian antar ras atau agama.

Sampai kini belum ada regulasi yang jelas mengatur kebebasan berekspresi para blogger. Tak ada kode etik yang mesti dipatuhi. Semua hasil karya blogger yang diposting di situs, seolah hanya dikembalikan kepada nurani dan tanggung jawab moral blogger masing-masing tanpa perlu takut tersandung pelanggaran hukum.

Hari ini, 27 Oktober 2008, komunitas blogger tanah air merayakan Hari Blogger Nasional. Ini merupakan perayaan tahun kedua sejak Menteri Komunikasi dan Informatika RI Mohammad Nuh mendeklarasikan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional setahun silam saat berlangsung Pesta Blogger di Blitz Megaplex Jakarta.

Menandai perayaan Hari Blogger Nasional kali ini, wacana tentang perlu tidaknya pemerintah membuat dan membakukan kode etik bagi para blogger di tanah air kembali mencuat. Sepertinya ada semacam kegelisahan atas fenomena kebebasan berekspresi di jagad blogger tanah air yang dianggap cenderung kebablasan oleh publik, termasuk pemerintah, bahkan mungkin sebagian blogger sendiri sehingga wacana itu kembali diperdebatkan.

Sebagian pihak mengatakan perlu ada kode etik bagi blogger Indonesia. Sebagian lain berpendapat tidak perlu. Dua pendapat ini sama-sama didukung argumen yang cukup kuat dan masuk akal.

Saya sendiri cenderung dengan pendapat kedua. Meski saya bukan penganut faham kebebasan, namun saya merasa kode etik bagi blogger Indonesia tidak perlu, paling tidak untuk saat ini. Saya khawatir justru adanya kode etik akan menghambat tumbuh kembangnya blogger/pengguna internet yang saat ini justru sedang pesat-pesatnya.

Saya setuju dengan pendapat Bang Enda Nasution yang juga “Bapak Blogger Indonesia” sewaktu diwawancarai SDA Asia Magazine; bahwa “…blogger lebih baik daripada non-blogger. Mengapa? Karena, blogger melakukan sesuatu dan menulis pengalamannya dalam blog-nya. Oleh karena itu, mereka lebih ekspresif, lebih peka terhadap sekitar, lebih beropini, lebih percaya dengan keyakinannya, dan akhirnya lebih partisipatif.

Ya, beberapa dari mereka, karena faktor usia, masih mem-blog mengenai apa yang dianggap orang lain sebagai “isu tak penting”. Hal ini akan berubah seiring perubahan status blogger yang tak selamanya menjadi anak SMA atau mahasiswa. Harapan saya, di masa depan adalah hadirnya generasi berkualitas, yakni mereka yang lebih nyaman menyuarakan kepeduliannya, mengambil pengetahuan dari isu di sekitar mereka, dan akhirnya mengambil tindakan, tidak sekedar duduk diam”.***

Rumahku Bukan Rumah Mertua

 kokanee                                                                                             Seenak-enaknya hidup menumpang di rumah mertua, lebih enak hidup di rumah sendiri. Apalah artinya tinggal di istana kalau hati serasa terpenjara. Lebih baik tinggal di gubuk derita, biar mengontrak, tapi hidup bagaikan raja.

Begitu kata teman saya beberapa tahun silam sewaktu saya minta sarannya terkait keinginan saya untuk segera pisah rumah dengan mertua.

Waktu itu, saya kebetulan baru tiga minggu menikah. Namun karena belum punya rumah sendiri, saya dan istri terpaksa menikmati masa-masa bulan madu tinggal menumpang dengan mertua.

Barulah menjelang setahun kemudian, saya dan istri pindah ke rumah kami sendiri yang dibeli berkat fasilitas kredit dari sebuah bank milik pemerintah.

Meski bangunannya lebih pantas disebut gubuk dan tak ada perabotan mewah di dalamnya, kecuali alat-alat dapur, sebuah TV, dua buah tempat tidur, dan dua buah lemari untuk tempat buku dan pakaian, tapi saya bangga karena rumah itu milik sendiri.

Ternyata ucapan teman saya itu benar adanya. Saya benar-benar merasakan ‘nikmatnya’ tinggal di rumah sendiri. Di rumah itu, saya bebas berbuat apa saja. Sangat beda waktu dulu kami masih menumpang di rumah mertua.

Meski saya tahu betul ayah dan ibu mertua saya itu sangat baik kepada kami, tapi justru kebaikannya itu yang membuat saya ‘lelah’ karena setiap saat harus menjaga sikap agar saya tidak sampai menyinggung perasaan keduanya.

Tapi, setelah tinggal di rumah sendiri, kalau istilah kasarnya, saya mau berbuat apa; mau jungkir balik, mau teriak, mau nangis, mau ketawa, apa peduli orang. “Ini rumahku!”.

Itulah yang saya rasakan sejak saya tinggal di rumah sendiri sampai kedua anak saya lahir dan yang paling besar sudah masuk sekolah kelas satu SD saat ini.

Nah, kemarin siang, teman saya itu curhat kalau saat ini hatinya benar-benar lagi galau. Pasalnya, ayah dan ibu mertuanya meminta penuh harap supaya keluarga teman saya itu kembali tinggal di rumah mertuanya.

Ayah dan ibu mertuanya itu mengaku sejak anak laki-lakinya yang bungsu menikah dan tinggal di tempat orang tua istrinya, ayah dan ibu mertuanya itu merasa sangat kesepian.

Katanya, di rumah mertuanya yang besar itu, ayah dan ibu mertuanya sekarang hanya tinggal bertiga dengan nenek istrinya yang sudah uzur dan mulai pikun.

Ayah dan ibu mertuanya itu secara terus terang mengatakan kepada teman saya, kalau mereka lebih ‘sreg’ bila serumah dengan keluarganya ketimbang tiga anaknya yang lain yang punya keluarga masing-masing.

Padahal, menurut teman saya dan istrinya, seharusnya keluarga adik laki-laki iparnya yang baru menikah itu yang lebih pantas tinggal bersama ayah ibu mertuanya. Atau keluarga kakak iparnya yang sampai kini masih tinggal mengontrak.

Apalagi saat ini kakak iparnya itu sedang mengandung anak pertama. Saat melahirkan sampai kelak kakak ipar teman saya itu benar-benar siap untuk mandiri merawat bayinya, pastilah sangat membutuhkan perhatian dan bantuan keluarga.

Sementara bila mengharapkan bantuan orang tua atau keluarga dari suami kakak iparnya itu yang tinggal jauh nun di luar kota sana, menurutnya, seperti mustahil.

Teman saya itu mengaku sebenarnya sangat senang karena ternyata keluarganya ‘terpilih’ menjadi ‘tambatan hati’ mertuanya. Itu berarti dia dan istrinya punya kesempatan lebih banyak untuk menunjukkan bakti mereka kepada ayah dan ibu mertuanya.

Hanya saja yang membuatnya galau, dia bersama istri dan anak-anaknya sudah ‘terlanjur cinta’ dan berat hati untuk ‘berpisah’ dengan rumah sederhana yang dibelinya beberapa tahun silam itu. Apalagi para tetangga di tempatnya tinggal selama ini terasa sudah begitu familiar.

Sebagai orang yang pernah tinggal menumpang dengan mertua, saya pun sebenarnya bisa menyelami apa yang menjadi kegalauan hati teman saya itu. Tapi saya pun seperti tak kuasa memberikan saran kepada teman saya untuk memilih yang mana: menuruti atau menolak permintaan mertua.

Sebab, saya sendiripun belum tentu bisa mengambil keputusan yang mumpuni bila seandainya saya menghadapi masalah seperti itu. ***

Ya Allah, Selamatkan Sahabatku…

Dulu saya punya sohib di kota T. Sejak saya pindah kerja, kami jadi jarang sekali ketemu. Hanya sesekali kami bersilaturahmi lewat hape hingga sekarang.

Sewaktu masih di kota T, kami selalu ketemu meski tidak tiap hari. Ada saja bahan yang kami obrolkan, mulai masalah pekerjaan, politik, selera, hobi, hingga masalah-masalah rumah tangga. Sayapun kenal cukup baik dengan istri sohib saya itu.

Sohib saya itu sebenarnya termasuk pria yang baik dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia juga tergolong orang yang ibadahnya lumayan tekun meski masih bolong-bolong. Saya juga tahu sohib saya itu lumayan wawasan ilmu agamanya karena dari kecil hingga sarjana ngecap pendidikan agama.

Cuma yang membuat saya mulai bersikap agak menjauh, sohib saya itu belum juga kapok untuk pergi ke tempat-tempat (maaf) maksiat. Dia masih saja suka berkumpul dengan peminum-minuman keras serta (maaf) penzina, bahkan mulai akrab dengan narkoba. Astaghfirullah…!!!

Saya katakan kapok, karena dulu nyawa sohib saya itu nyaris melayang akibat mengalami kecelakaan sepeda motor karena mabuk sehabis minum-minuman keras di sebuah tempat hiburan malam.

Tak ada yang menolongnya waktu itu karena orang-orang lagi terlelap tidur sehingga jalanan sangat sepi. Untungnya, sepeda motornya yang ringsek itu mesinnya masih bisa hidup dan dikendarai sampai rumah.

Hingga saat ini, menurut sohib saya, istrinya tidak pernah tahu kalau kecelakaan itu terjadi akibat dia mabuk karena minum-minuman keras.

Sejak menikah, sohib saya itu memang biasa pulang malam, bahkan terkadang menjelang dini hari. Alasannya karena sibuk dengan urusan pekerjaan di kantornya dan kegiatan di organisasi maupun partai yang digelutinya.

Istri sohib saya itu memang mengetahui kalau suaminya itu punya kesibukan lain selain pekerjaan. Sebab sejak mereka pacaran dulu, sohib saya itu memang dikenal sebagai aktifis mahasiswa di beberapa organisasi. Makanya, setelah menikah, istri sohib saya itu maklum saja dengan kebiasaan suaminya itu.

Saya sebenarnya kasihan dengan istri dan anak-anak sohib saya itu. Saya sudah capek menasehati dan mengingatkan sohib saya itu agar menghentikan kebiasaan buruknya dengan dunia maksiat.

Nah, waktu sohib saya itu kecelakaan, hingga seminggu harus mendapat perawatan meski gak sampai masuk rumah sakit, dia sempat berbisik waktu saya membesuk ke rumahnya, kalau dia kapok ngulangi minum-minuman keras lagi dan mengatakan tidak akan menginjakkan kaki lagi ke tempat yang namanya hiburan malam.

Tapi belum lagi genap dua bulan setelah sembuh, kebiasaan buruknya kembali kambuh. Sohib saya itu kembali minum-minuman keras dan main perempuan di tempat-tempat hiburan malam bersama teman-temannya.

Saya coba kembali menasehati dan mengingatkannya, tapi dia berdalih kalau dia cuma ‘minum miras‘ sekadarnya saja. “Aku gak enak sama teman-teman. Pokoknya aku gak akan main perempuan dan minum sampe mabuklah,” katanya sewaktu aku coba mengingatkan.

Sohib saya itu memang pintar menyembunyikan kelakuan buruknya di hadapan istrinya. Biasanya, sehabis pulang dari mabuk-mabukan di tempat hiburan malam, sohib saya dan teman-temannya singgah dulu ke kafe atau suatu tempat untuk bersantai mencari udara segar. Setelah mabok atau pening di kepalanya berkurang atau hilang, baru mereka pulang, meski sampai di rumah menjelang Subuh.

Sekitar empat bulan sejak kecelakaan itu, ternyata istri sohib saya mulai curiga dengan prilaku suaminya yang sering pulang dengan muka dan pakaian kusut serta menebar aroma alkohol dari mulutnya.

Sejak itu pertengkaran antara dia dan istrinya mulai sering terjadi. Istri sohib saya itu menuduh kalau dia mulai suka mabuk-mabukan dan main perempuan. Apalagi istrinya merasakan sohib saya itu mulai sering tidak jujur dengan penghasilan yang semestinya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya.

Tapi sohib saya tetap keukeh membantah tuduhan istrinya itu. Meski sohib saya itu bukan tipe suami yang suka main tangan, tapi istrinya selalu dia buat menangis setiap kali mereka bertengkar.

Hingga suatu saat, sohib saya datang menemui saya dan curhat kalau dia baru saja bertengkar hebat dengan istrinya. Sudah berhari-hari istrinya ‘mendiamkannya’ di rumah. Sebelum-sebelumnya istrinya tak pernah ‘semarah’ itu kepadanya. Tapi kali ini, sohib saya itu mengaku benar-benar ‘takut’ kalau bahtera rumah tangganya bakal karam gara-gara perbuatannya.

Saya masih ingat, sohib saya yang saat itu sudah seperti orang linglung dan kehilangan semangat hidup, sempat menangis terseguk di depan saya. Sohib saya itu mengaku begitu sangat menyesali perbuatannya.

Dia mengatakan, kali ini dia benar-benar kapok dan ingin bertobat. Dia ingin minta maaf kepada istrinya, tapi dia gak tahu bagaimana caranya. Dia mengaku malu jika harus berkata jujur kepada istrinya kalau dia telah mengkhianati istrinya karena telah terjerumus ke dunia maksiat, bahkan selingkuh dengan wanita lain.

Sebagai sohib, saya ikut sedih dan prihatin dengan kondisi rumah tangganya. Apalagi saya sudah lama mengenal baik istri dan keluarga istri sohib saya yang memang berlatar belakang keluarga yang taat menjalankan perintah agama.

Namun saya pun hanya bisa memberikan masukan dan mengingatkannya agar sebaiknya dia jujur saja dan berjanji kepada istrinya tidak lagi mengulangi kebodohannya itu.

Setelah pertemuan itu, kami sempat dua bulan lebih tak ketemu. Sohib saya itu tiba-tiba seperti hilang di telan bumi. Nomor hapenya tak pernah aktif saat saya berulangkali coba menghubungi. Begitupun bila saya sms, tak pernah dibalas, malah sering gagal terkirim. Saya pun enggan mengunjungi sohib saya itu ke rumahnya dalam situasi seperti itu.

Saya pun pasrah ‘membiarkan’ sohib saya itu bergulat dengan masalah sebagai akibat dari kebodohannya sendiri. Saya hanya berdoa sohib saya itu mampu mengatasi badai yang mendera bahtera rumah tangganya.

Akhirnya, beberapa pekan berikutnya sohib itu tiba-tiba kembali muncul. Tapi kali ini wajahnya telah kembali berseri. Dia mengabarkan kalau badai rumah tangganya telah berlalu. Sayapun ikut gembira dan bersyukur.

Apalagi saya melihat prilaku sohib saya memang banyak sekali berubah. Sohib saya itu mulai lebih banyak meluangkan waktunya untuk istri dan anak-anaknya. Ibadahnya saya lihat semakin tekun. Bahkan saya sering tidak tahu, kalau saat hari Senin dan Kamis dia rajin berpuasa sunnat. Dunia gemerlap malam pun sudah dia tinggalkan.

Sejak saat itu, karena kesibukan masing-masing kami menjadi semakin jarang ketemu. Hingga suatu malam usai Lebaran lalu, hape saya tiba-tiba berdering karena ada panggilan masuk dari nomor yang tidak saya kenal. Saat saya angkat dan pencet tombol menjawab panggilan, terdengar suara wanita menyapa dari ujung hape.

Saya terkejut karena ternyata itu adalah istri sohib saya. Setelah sejenak berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing, istri sohib saya itu tiba-tiba menangis dan dengan kalimat terbata-bata mengatakan, kalau usai Lebaran lalu sohib saya itu mulai kambuh lagi penyakitnya yang suka mabuk-mabukan.

Istri sohib saya itu mengaku tak tahu lagi harus berbuat apa menyikapi kelakukan buruk suaminya itu. Dia mengaku kalau lama-lama hatinya semakin tak kuat menahan menanggung beban perasaan.
Setelah pembicaraan di hape itu saya tercenung memikirkan prilaku sohib saya itu. Tapi saya gak tahu harus berbuat apa.

Ya Allah, selamatkan sahabatku dan keluarganya, jauhkan dia dari maksiat dan ingkar kepada-MU…***

Yuuk, Silaturahmi

Lega rasanya karena hari ini saya punya waktu luang lebih banyak untuk membuka-buka internet dan mengunjungi blog-blog tetangga. Saya masih ingat, sepekan setelah kembali masuk kerja, saya sempat kehilangan mood untuk menulis karena disibukkan urusan keluarga dan seabrek pekerjaan yang sudah menumpuk akibat libur Lebaran kemarin.

Untungnya, saya masih sempat membalas komentar beberapa rekan bloger, meski sebagian di antaranya barangkali berkunjung hanya karena kebetulan ‘nyasar’ ke blog saya.

Alhamdullilah, saya juga masih sempat ‘singgah’ bersilaturrahmi ke beberapa blog tetangga atau melakukan ‘kunjungan balasan’ walau sekadar untuk mengucapkan Selamat Idul Ftri, Selamat Kembali ke Kota, Selamat Masuk Kerja Lagi, dan selamat-selamat lainnya.

Sejujurnya, saya sebenarnya iri kalau melirik blog-blog tetangga yang sepertinya tak pernah kehabisan ide untuk menulis di blognya dan selalu ramai ‘dikunjungi’ maupun dikomentari para bloger.

Saya masih ingat, ada satu blog yang sempat saya kunjungi, si pemilik blog hanya menulis tak lebih dari dua baris kalimat mengenai pengalamannya saat mudik Lebaran lalu. Tapi jumlah komentar atas tulisan si bloger, saat itu saja saya lihat sudah mencapai 273 komentar, plus tentunya satu komentar dari saya.

Sebagai pendatang baru dalam jagad bloger, saya sempat penasaran, apa sih yang menarik dari tulisan itu ? Menurut kacamata saya pengalaman si bloger itu sebenarnya gak ada yang istimewa sebab saya yakin ribuan orang yang mudik saat Lebaran kemarin juga mengalaminya.

Saya coba membandingkan dengan beberapa tulisan dengan tema yang sama mengenai pengalaman bloger lain saat mudik Lebaran lalu yang menurut saya tulisannya disajikan dalam bahasa yang ringan, tapi jauh lebih menarik dan memberi inspirasi bagi para pembacanya. Tapi begitu saya lihat komentar yang masuk untuk tulisan itu, jumlahnya tak lebih dari belasan, bahkan ada yang cuma di bawah 10 komentar !

Akhirnya, setelah melalui perenungan, analisis, penelitian, dan perbandingan yang mendalam serta didukung beberapa referensi maupun literatur (chiyeee…chiyeee…macam betul aja!) saya sampai pada satu kesimpulan : silaturahmi sangat penting dalam jagad bloger.

Pemahaman sederhananya, bagaimana tetangga mau ngunjungi kita, kalau kita sendiri gak pernah ngunjungi tetangga. Bagaimana antar tetangga bisa saling kenal, kalau kita sendiri kerjanya cuma ngendon di rumah. Istilahnya “kuper” alias kurang pergaulan.

Kalau silaturahminya baik, tentu hubungan antar tetangga juga menjadi akrab, meski terkadang ada juga sih tetangga yang rajin dikunjungi atau rajin berkunjung, kelakuannya selalu menyebalkan.

Suatu hari, saya sempat tercenung saat saya tak sengaja mendengar curhat teman sebut saja namanya si fulan kepada seorang senior di tempat saya bekerja. Teman saya itu mengeluhkan kurangnya silaturahmi antar tetangga di komplek perumahan tempatnya tinggal.

“Awak sebetulnya rajinnya mengunjungi mereka, tapi tetangga-tetangga awak itu tetap aja malas berkunjung ke rumah awak ?,” keluh si fulan dengan logat kental khas orang Medan.

“Bagus jugalah kalok begitu. Berarti stok gula pasir di rumah kau kan tak cepat habis untuk membikin teh manis. Kalau rajin kali tetangga-tetangga kau tu main ke rumah kau, nanti susah juga kau. Marepet pulaklah istri kau nanti karena gula di rumah kau cepat habis,” jawab senior si fulan itu berseloroh hingga keduanya ketawa terkekeh-kekeh.

Tapi kemudian senior si fulan itu menyarankan, agar si fulan tidak putus asa untuk terus bersilaturahmi ke para tetangganya. Si fulan juga diminta tidak menyalahkan para tetangganya itu. Justru si fulan yang menurutnya harus introspeksi diri, kenapa para tetangganya jarang bersilaturahmi ke rumahnya. Bisa saja para tetangganya itu memang lagi sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga belum sempat silaturahmi balik ke rumahnya.

“Atau barangkali suasana rumah kau yang kurang welkam (baca : welcome) sehingga para tetangga kau jadi enggan berkunjung ke rumah kau. Misalnya, jalan ke rumah kau tu becek atau gelap gulita kalok malam hari. Atau mungkin karena halaman rumah kau tu semak macam hutan belantara, atau mungkin karena rumah kau jorok dan perabotannya beserak. Dan ini lagi yang lebih parah, mungkin karena yang punya rumah sebetulnya pura-pura welkam biar dibilang tak kuper padahal memang iya, hehehe…,” seloroh si senior menyindir si fulan yang terlihat mukanya langsung merah padam.***

Ada Lafal Allah di Genangan Air

Barusan saya kembali dapat kiriman e-mail dari seorang teman. Subhanallah, saya kaget begitu membuka kotak suratnya. Ternyata isinya mengenai foto-foto genangan air yang di dalamnya ada tulisan yang membentuk lafal : ALLAH.

Dalam kalimat yang cukup singkat sebagai pengantar, teman saya mengatakan kalau dia juga mendapatkan foto-foto itu melalui e-mail kiriman temannya.

Di e-mail itu, teman saya menyebutkan kalau foto-foto itu hasil jepretan dari HP milik seseorang bernama Zulherman (BCA Sudirman) yang ga’ sengaja waktu di jalan ngeliat genangan air dan ada lafal ALLAH…

Lokasinya, disebut-sebut antara Cikarang – Tol Bekasi Timur (jalan utama / pinggir Jalan Kalimalang).

Ini dia foto-fotonya :

Bunyikan Klaksonmu!

Tiga hari lalu saya dapat kiriman e-mail dari seorang teman. Isinya, cerita tentang pengalaman seseorang yang luput dari celaka saat mobilnya tiba-tiba mogok di perlintasan kereta api.

Pastinya, cerita itu bukan pengalaman teman saya. Sebab teman saya atau saya sendiri belum pernah mengalami seperti yang dikisahkan dalam cerita itu. Tapi menurut saya, gak ada salahnya cerita itu saya tulis di blog ini. Mungkin ada manfaat dan hikmah yang bisa didapat.

****************

Diceritakan : Tadi pagi saat berangkat kerja, seperti biasa jam 9… ke arah Roxy…lewat kolong jembatan yang baru…. saya melewati perlintasan kereta api.

Eh, pas mobil saya sudah di tengah-tengah lintasan kereta api, tiba-tiba terdengar bunyi; tit…tut…tit…tut…tit…tut…sirine menandakan ada kereta mau lewat.

Saya tengok ke kanan, kereta sudah kelihatan walaupun masih jauh. Saya kaget. Wah, petugasnya terlambat membunyikan sirine. Tiba-tiba mesin mobil saya mati. Astaga!

Di dalam mobil, saya berusaha tetap tenang dan tidak panik. Saya tiba-tiba teringat kejadian 2 tahun lalu, saat om dan tante saya terjebak di perlintasan kereta api, mobil mereka tiba-tiba berhenti mendadak dan mesinnya mati.

Om dan tante saya yang ketika itu panik, reflek menekan klakson berkali-kali. Om saya kembali menstarter mobilnya dan mesin mobil bisa on lagi hingga akhirnya om dan tante saya selamat.

Teringat pengalaman itu, saya pun refleks membunyikan klakson mobil terus-menerus sekeras-kerasnya. Padahal di depan tidak ada mobil atau kenderaan lain.

Saat kereta api sudah semakin dekat, tiba-tiba tape mobil saya menyala. Saya tentu saja kaget, kok tape yang tadinya mati, bisa menyala sendiri?

Ketika kereta sudah benar-benar mendekat, semua orang berteriak menyuruh saya segera keluar dari mobil; Keluar…! Cepat keluar…! Syukurnya, saat coba distater mesin mobil kembali on. Mobil saya bisa keluar dari jebakan rel kereta api itu dengan selamat.

Setelah kejadian itu, suatu ketika saya tak sengaja membaca sebuah buku, ternyata rel kereta api menghantarkan listrik dan magnet dari kereta api yang bisa membuat mesin mobil atau motor mati mendadak.

Tapi itu bisa diatasi dengan bunyi-bunyian yang bernada tinggi seperti suara klakson. Suara klakson ternyata bisa memutuskan rangkaian listrik dan medan magnet yang dihantarkan dari rel kereta api tersebut.

Gak percaya? Buktikan sendiri kalau melintasi rel kereta api. Tapi saya sarankan lebih baik tidak mencobanya, kecuali saat anda benar-benar terjebak di perlintasan kereta api. ***

15 Menit Yang ‘Menggoda’


Semalam, seorang teman mentraktir saya berbuka puasa di salah satu kafe sebuah plaza. Kebetulan tempat itu hanya menyisakan beberapa meja lagi untuk diisi. Kamipun memilih salah satu meja dekat sudut ruangan kafe yang masih kosong dan memesan hidangan untuk berbuka.

Sekitar 15 menit menjelang waktu berbuka, tiba-tiba masuk tiga orang cewek dan mengambil posisi tempat duduk persis menghadap ke meja kami. Melihat paras dan penampilannya, umur mereka saya taksir belum genap 18 tahun.

Menurut saya, kecantikan mereka tak kalah dengan artis-artis sinetron di TV. Mencium wangi farfumnya dan melihat dandanan serta asesorisnya, asumsi saya mengatakan tentulah ketiga cewek itu dari keluarga berada.

Cewek yang satu, model rambutnya persis artis penyanyi Agnes Monica, mengenakan celana jeans ketat dan kemeja ketat dengan belahan depan dibiarkan setengah terbuka hingga nyaris memperlihatkan sebagian payudaranya.

Bagian bawah kemejanya tak menutup sempurna pinggang dan pusarnya. Sementara kakinya terlihat dibalut sepatu hak berwarna hitam polos tanpa tali.

Cewek yang satunya, dengan model rambut ala artis Masayu Anastasya mengenakan baju tank top dipadu dengan rok mini dan sepatu hak pakai tali. Si cewek terlihat duduk serba salah. Sebentar-sebentar gonta-ganti menyilangkan paha atau kaki— seolah takut banyak mata-mata nakal mencuri-curi pandang ke balik pahanya.

Cewek yang satunya lagi berpenampilan tomboy, dengan model rambut ala artis sinetron Sheila Marcia. Si cewek mengenakan kemeja ketat yang dipadu celana pendek bercorak kotak-kotak dan bersepatu kets juga bercorak kotak-kotak.

Namun sama saja seperti cewek partama yang seolah sengaja unjuk pusar, cewek yang ketiga ini justru enggak risih mengumbar pahanya. Itu terlihat dari cara duduknya yang sekenanya, seolah dia sedang duduk di teras rumahnya saja.

Ketiga cewek tadi kemudian memesan makanan dan minuman. Setelah semua yang mereka pesan terhidang, mereka justru tidak langsung menyantapnya. Tapi mengamati orang-orang di sekeliling dan sesekali melihat arloji di tangannya.

Dari gelagat dan pembicaraan mereka yang sempat saya dengar, saya baru tahu ternyata mereka juga sedang berpuasa dan menunggu waktu berbuka. Hemm…nice girls.

Jujur, sejak kehadiran mereka otak saya tak berhenti berpikiran kotor dan ngeres. Tapi hati kecil saya yang masih menyisakan setitik iman terus menerus mengingatkan, kalau saya sedang berpuasa dan harus menjaga pandangan.

Tiba-tiba saya menjadi serba salah. Antara membiarkan pemandangan itu menjadi mubazir atau ‘mengorbankan’ pahala puasa seharian dengan ‘menikmati’ pemandangan itu.

Hati kecil saya memilih yang pertama. Saya pun mencoba mengalih-alihkan pandangan ke tempat lain sambil terus mencari-cari topik pembicaraan dengan teman. Namun rupanya, teman saya sedari tadi ternyata juga telah hanyut dengan pikiran ngeresnya sendiri karena kehadiran ketiga cewek itu.

Seandainya kenal ingin sekali saya mendatangi mereka. Terus saya katakan kepada mereka, seharusnya mereka tidak datang ke kafe dengan dandanan seperti itu.

Tapi saya pikir-pikir, apa hak saya mengatakan itu kepada mereka. Toh, orang tua mereka sendiri barangkali enggak peduli, risih, apalagi keberatan anak-anaknya berpenampilan ‘menggoda’ begitu.

Ah, barangkali Tuhan sedang ‘mengutus’ setan dalam wujud cewek-cewek berparas cantik untuk menguji kadar keimanan saya yang sedang berpuasa. Saya pun mencoba bertahan sekuat tenaga dengan godaan itu.

Hingga tibalah saatnya berbuka. Namun, iman saya akhirnya rontok juga. Alhasil, sepanjang menyantap hidangan berbuka puasa hari itu, kami juga diselingi hidangan pencuci mata. Astaghfirullah…!!!

Saya pun pasrah dan hanya bisa berharap semoga malaikat Raqib masih menyisakan catatan-catatan kebaikan dari puasa yang saya jalani hari itu.***

Titanic : Prahara Sebuah Maha Karya

Kemarin menjelang tengah malam, sebuah stasiun TV swasta kembali memutar film Titanic. Saya tidak ingat, entah sudah berapa kali film berkisah prahara dari sebuah maha karya sejarah itu diputar di stasiun-stasiun TV kita.

Hampir setahun ini saja seingat saya tak kurang dari tiga kali film itu ditayangkan di stasiun TV swasta berbeda. Karena durasinya tiga jam lebih, oleh pihak stasiun TV, film karya James Cameron yang diproduksi Paramount Pictures dan 20th Century ini ditayangkan dalam dua bagian.

Saya sendiri sudah berkali-kali menyaksikan film ini sejak booming sekitar tahun 1997. Dan, setiap itu pula saya tak pernah melewatkan film itu bila diputar di TV. Titanic adalah satu dari sedikit film yang paling berkesan dan saya sukai sampai kini. Rasa kemanusiaan saya benar-benar tersentuh setiap kali menyaksikannya.

Setiap kali mendengar suara Celine Dion menyanyikan lagu My Heart Will Go On atau alunan instrument dari lagu yang menjadi soundtrack film ini, hati saya ikut terperih karena terbayang wajah-wajah lucu dan polos anak- anak kecil penumpang kelas bawah yang ikut tenggelam bersama kapal Titanic.

Setiap kali menyaksikannya, saya selalu berharap film itu berakhir happy ending. Saya selalu menantikan di akhir cerita Titanic, anak-anak kecil yang lugu itu tidak mati. Dan, Jack “Leonardo DiCaprio” Dawson yang menjadi tokoh sentral dalam filim itu, tetap hidup dan merajut kasihnya bersama Rose “Kate Winslet” Dewit.

Cerita sesungguhnya dimulai, ketika sebuah kapal besar dan megah bernama Titanic bertolak meninggalkan Pelabuhan Liverpool Inggris menuju negeri impian bernama Amerika. Karena begitu kokoh dan kuatnya kapal itu, orang-orang sampai berkata,” Titanic tak mungkin tenggelam. Bahkan, Tuhan pun tak akan bisa menenggelamkannya”.

Apalagi, sang nakhoda kapal adalah orang pilihan yang sangat berpengalaman. Kharisma dan wibawa sang nakhoda memancar dari warna rambut dan cambangnya yang terlihat memutih dipadu seragam yang dikenakannya.

Ada dua macam penumpang kapal, pertama orang kaya yang menghuni di bagian atas kapal dengan fasilitas serba wah, dan kedua orang miskin yang menempati ruang-ruang sempit di bagian bawah kapal.

Sepanjang perjalanan, semua penumpang bersenang-senang. Tentu saja setiap kelas penumpang berbeda musik dan hiburannya. Tak henti-henti lagu-lagu gembira dan tawa canda bergema di seluruh sudut kapal.

Atas permintaan segelintir konglomerat sombong, nakhoda diminta meningkatkan kecepatan kapal supaya tiba di Amerika lebih awal dari jadwal yang diperkirakan. Benar saja, begitu kecepatan ditingkatkan ke batas maksimal, laju kapal begitu mantap membelah lautan Atlantik.

Tiba-tiba saja kapal telah berhadapan dengan gunung es yang menjulang. Dengan segenap kemampuannya, nakhoda berusaha mengalihkan arah kapal menghindari gunung es. Sayang, usaha itu tak sepenuhnya berhasil. Lambung bagian kanan kapal besar itu menghantam dinding gunung es.

Kapal bocor dan bencana pun dimulai. Air mulai masuk ke kapal dari bagian-bagian ruang mesin di bagian bawah samping kanan kapal. Belasan anak buah kapal tewas tenggelam dan terluka. “Mr. Adrews” sang perancang dan ahli kapal Titanic pasrah. Kapal itu tak bisa lagi diselamatkan.

Evakuasi penyelamatan mulai dilakukan. Celaka, jumlah sekoci penyelamat tidak sebanding dengan banyaknya penumpang. Tiba-tiba saya merasa menjadi salah satu penumpang kelas bawah. Perasaan saya benar-benar sangat teriris mendengar keputusan nakhoda yang memerintahkan krunya menyelamatkan para penumpang kelas satu lebih dulu.

Demi menyelamatkan penumpang kelas satu semua pintu untuk akses naik turun ke bagian atas kapal diperintahkan dikunci. Tujuannya agar penumpang kelas bawah yang orang-orang miskin itu tidak bisa naik ke bagian atas dan mengganggu upaya kru menyelamatkan orang-orang kaya itu.

Saya benar-benar marah kepada kru-kru kapal itu. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada lagi pintu untuk naik ke bagian atas kapal. Para penumpang kelas bawah dilanda kepanikan dan ketakutan luar biasa karena air dari bawah kapal semakin cepat meninggi.

Sebagian penumpang kelas bawah telah tenggelam. Jerit kemarahan dan ketakutan tak membuat kru-kru kapal itu tergugah untuk membuka pintu yang terkunci itu.

Sementara itu di bagian atas kapal, satu per satu sekoci yang sebenarnya tak terisi penuh penumpang kelas satu, diturunkan ke laut. Ya Allah, sekoci tinggal satu!. Padahal belum semua penumpang kelas satu yang terangkut. Seorang pria konglomerat masuk ke sekoci dengan menyuap kru kapal. Tapi akhirnya, si kru itu bunuh diri karena tak sanggup menahan rasa bersalahnya.

14 April 1912 malam dalam balutan jutaan gemerlap bintang, Titanic akhirnya karam di dasar lautan Atlantic yang sangat dingin. Sekitar 1.500 orang penumpangnya, termasuk seluruh kru kapal tewas. Sang nakhoda mati terhormat dengan memegang kemudi kapal yang tak lagi bisa ia kendalikan.

Sayup-sayup terdengar lantunan instrument lagu My Heart Will Go On-nya Celine Dion. Perasaan saya semakin berkecamuk. Saya sedih, film ini seperti yang sudah-sudah, tetap berakhir antiklimaks. Semuanya tenggelam bersama deburan ombak laut Atlantik yang dingin meremukkan seluruh tulang. ***